Jakarta –
Menko Polhukam Mahfud Md merespons pernyataan yang disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang menyinggung adanya conflict of interest atau konflik kepentingan saat dirinya menjabat sebagai Ketua MK terkait Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Nomor 49/PUU- IX/2011. Mahfud membantah hal tersebut.
“Enggak, memang dulu pernah ada gugatan, tapi tidak pernah ada conflict interest hakim institusi, semuanya itu yang diuji itu kan kalau enggak salah perubahan masa jabatan. Dan kita biarin aja karena ada orang menguji ya kita uji bersama,” kata Mahfud kepada wartawan di Kemenko Polhukam, Kamis (9//11/2023).
Mahfud mempertanyakan konflik kepentingan yang dimaksud dengan siapa. Menurut Mahfud, sembilan hakim MK saat itu memiliki sikap yang sama terkait gugatan masa jabatan hakim.
“Sama siapa yang conflict of interest, wong sembilan yang menghadiri enggak ada yang mempersoalkan, enggak ada yang berbeda sikapnya, sama. Termasuk kalau enggak salah permohonannya itu karena menyangkut hakim, ini kan menyangkut masa jabatan hakim dua tahun atau dua setengah tahun, itu enggak ada masalah kepentingan,” ujarnya.
Mahfud menampaikan saat itu ada yang mengajukan gugatan ke MK. Sehingga gugatan tersebut disidangkan.
“Kita setuju saja, mau dua tahun, tiga tahun, karena ada yang mengajukan ya ditanggapi. Artinya disidangkan, dan tidak ada yang tidak setuju waktu di sidangkan karena tidak ada hakim yang pribadi, sifatnya punya ikatan dengan itu, itu semua hakim sama,” imbuhnya.
Sebelumnya, Anwar Usman membantah memiliki conflict of interest atau konflik kepentingan dalam menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyinggung nama mantan Ketua MK Mahfud Md dan Jimly Asshiddiqie.
“Dalam penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagai hakim karier, saya tetap mematuhi asas dan norma yang berlaku di dalam memutus perkara dimaksud,” kata Anwar dalam konferensi pers di kantor MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023).
“Terkait dengan isu konflik kepentingan (conflict of interest), sejak era kepemimpinan Prof Jimly, dalam Putusan Nomor 004/PUU-1/2003, Putusan 066/PUU-II/2004, Putusan Nomor 5/PUU- IV/2006 yang membatalkan Pengawasan KY terhadap Hakim Konstitusi maupun Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 49/PUU- IX/2011 di era Kepemimpinan Prof. Mahfud Md, Putusan Nomor 97/PUU- XI/2013, Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK di era Kepemimpinan Bapak Hamdan Zoelva, Putusan Perkara 53/PUU- XIV/2016, Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016 di era Kepemimpinan Prof Arief Hidayat. Selanjutnya Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan Ketua dan Wakil Ketua, dan ketika itu saya adalah Ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung. Namun saya tetap melakukan dissenting opinion, termasuk kepentingan langsung Prof Saldi Isra dalam Pasal 87b terkait usia yang belum memenuhi syarat,” jelasnya.
Dia mengatakan perkara pengujian UU di MK adalah penanganan perkara yang bersifat umum (publik), bukan penanganan perkara yang bersifat pribadi atau individual yang bersifat privat. Maka berdasarkan yurisprudensi dan norma hukum yang berlaku, ia bertanya apakah sebagai hakim konstitusi dan Ketua MK harus mengingkari putusan-putusan terdahulu, karena disebabkan adanya tekanan publik atau pihak tertentu atas kepentingan tertentu pula? Atau harus mundur dari penanganan perkara 96/PUU-XVIII/2020, demi menyelamatkan diri sendiri.
“Sebagaimana saya jelaskan di atas, jika hal itu saya lakukan, maka sama halnya saya menghukum diri sendiri karena tidak sesuai dengan keyakinan saya sebagai hakim dalam memutus perkara. Bahkan, secara logis, sangat mudah bagi saya untuk sekadar menyelamatkan diri sendiri, dengan tidak ikut memutus perkara tersebut,” ujar Anwar.
“Karena jika niat saya dan para hakim konstitusi, untuk memutus perkara tersebut, ditujukan untuk meloloskan pasangan calon tertentu, toh, juga bukan kami yang nantinya punya hak untuk mengusung calon, dan yang akan menentukan siapa calon pasangan terpilih kelak, tentu rakyatlah yang menentukan hak pilihnya melalui pemilihan umum,” tambahnya.
(dek/dhn)