Jakarta –
Jual beli rumah dengan asas keperdataan mendudukkan penjual dan pembeli setara di muka hukum. Namun bagaimana bila pembeli nunggak? Apakah boleh mengusir paksa?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate. Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan pembaca:
Assalamualikum, selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Saya member aktif pembaca berita detikcom akun atas nama Juwandi Ferlis
Mohon bantuan dan pendapat hukumnya atas permasalahan saya sebagai berikut :
1. Februari 2019 saya membeli rumah di daerah Tangerang dan akad kredit dengan pihak bank perjanjian di bawah tangan (karena SHGB belum dipecah jadi tidak ada AJB dan APHT ) perihal pembiayaan pembelian rumah senilai Rp 1,26 miliar (DP saya Rp 250 juta). Sejak itu juga saya mulai mencicil ke bank.
2. Tahun 2020 saya serah terima unit dan mulai pakai rumah saya tersebut
3. Desember 2022 saya kredit macet karena usaha bangkrut dampak pandemi covid-19
4. Juni 2023 pihak devloper buyback ke pihak bank dengan nilai Rp 920 juta (saya tahu informasi ini dari pihak bank karena pihak devoloper tidak mau memberitahu) dan pihak devloper memberitahu bahwa unit tersebut milik devloper secara mutlak dan penuh dan semua biaya yg saya keluarkan baik DP dan cicilan selama 3 tahun hangus!
5. Atas pemberitahuan pada poin 4 saya minta musyawarah mufakat perihal hak hak saya karena buyback hanya 900 jutaan artinya masih di bawah nilai yg dulu saya beli Rp 1,26 miliar.
6. Pihak devloper tidak memperdulikan saya perihal permintaan saya untuk musyawarah dan memberi saya solusi untuk membeli kembali ( proses kredit baru ) dengan nilai mengikuti harga pasar saat ini yaitu Rp 1,7 miliar
7. Pihak devloper memberikan somasi sampai 3 kali kepada saya untuk keluar dari rumah, kalau saya tidak keluar rumah maka akan ada pemutusan listrik, air dan pengosongan secara paksa.
8. Saya memberikan surat penegasan ke pihak devloper bahwa saya tidak akan keluar rumah dan mengosongkan rumah sebelum ada musyawarah mufakat atau adanya putusan pengadilan perihal permasalahan ini.
9. Juli 2023 pihak devloper melakukan pemutusan listrik dan air. Dan akhirnya kami sekeluarga mengungsi karena tidak ada air dan listrik untuk menempuhi kebutuhan dasar kami.
10. Selang beberapa minggu pihak devloper menjebol pintu rumah saya dan melakukan pengosongan rumah kami dengan cara mengangkut semua barang barang kami dan di pindahkan ke gudang mereka.
11. Tetangga saya ada yang mendokumentasikan proses pengosongan yg dilakukan oleh pihak sipil yang tidak dikenal dan dari keterangan tetangga ada benda benda kami yang rusak dan yg saya takuti benda benda berharga kami turut rusak atau hilang seperti perhiasan emas atau uang tunai.
Mohon bantuannya perihal perbuatan yg menurut saya tindakan premanisme itu. Mohon untuk penjelasannya secara pidana dan perdata perihal kepemilikan rumah tersebut, tindakan pengusiran kami sekeluarga, menjebol pintu rumah kami, masuk ke rumah kami tanpa izin dan membawa semua barang barang kami.
Atas bantuannya saya ucapkan terimakasih
Salam
Detikers Juwandi Ferlis
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik’s Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan mencoba untuk menjawabnya.
Kami mengasumsikan adanya suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar perikatan antara Saudara dan pihak developer, sehingga permasalahan yang sedang dihadapi saat ini sepenuhnya harus mengacu kepada isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang sudah disepakati.
Aturan hukum tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas suatu rumah terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaran Perumahan Dan Kawasan Permukiman (PP 14/2016) Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman (PP 12/2021).
Di dalam Pasal 1 Angka (11) PP 12/2021 dinyatakan bahwa, Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang, untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun, yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret, yang dibuat di hadapan Notaris.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 22 Huruf (I) PP 12/2021, PPJB dilakukan setelah developer memenuhi persyaratan kepastian atas :
a. Status kepemilikan tanah;
b. Hal yang diperjanjikan;
c. Persetujuan Bangunan Gedung (PBG);
d. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
e. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 22 Huruf (J) PP 12/2021, PPJB paling sedikit harus memuat:
a. Identitas para pihak;
b. Uraian obyek PPJB;
c. Harga Rumah dan tata cara pembayaran;
d. Jaminan pelaku pembangunan;
e. Hak dan kewajiban para pihak;
f. Waktu serah terima bangunan;
g. Pemeliharaan bangunan;
h. Penggunaan bangunan;
i. Pengalihan hak;
j. Pembatalan dan berakhirnya PPJB;
k. Penyelesaian sengketa.
Oleh karena PPJB bentuknya adalah perjanjian, maka secara umum tunduk kepada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain itu, juga bersandar kepada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yakni, sepakat, cakap, adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Terhadap isi dari PPJB yang sudah ditandatangani wajib dilaksanakan oleh para pihak dengan sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian terikat kepada ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) dan Ayat (3) KUHPerdata, yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Sehubungan dengan ketidakmampuan Saudara dalam melaksanakan kewajiban pembayaran setiap bulannya, yang mana kemudian mengakibatkan uang DP dan angsuran selama tiga tahun menjadi hangus dan rumah tersebut kembali kepada developer karena dilakukan buyback dari pihak bank, menurut pendapat kami sepenuhnya harus berpedoman kepada ketentuan PPJB yang sudah disepakati antara Saudara dengan pihak developer.
Apakah diatur bahwa dengan tidak dibayarkannya angsuran dan sudah dilaksanakannya teguran akan hal itu namun tetap tidak dilaksanakan, maka Saudara dinyatakan lalai / Wanprestasi. Kemudian, apakah diatur pula mekanisme bagi Saudara apabila hendak melaksanakan kesepakatan ulang terkait kepemilikan rumah yang disebabkan wanprestasi, dan mungkin juga ada diatur ketentuan mengenai buyback, serta mengenai aturan-aturan terkait tentang alasan-alasan yang dapat menyebabkan batalnya PPJB dan tata cara pembatalannya.
Jika hal-hal tersebut sudah diatur dan disepakati dalam PPJB, maka Saudara harus tunduk kepada isi dan ketentuan dimaksud, hal mana tindakan developer menjadi patut dan dapat dibenarkan menurut hukum. Akan tetapi, apabila perbuatan developer menyalahi aturan-aturan yang tertuang di dalam PPJB, maka Saudara dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan atas dasar Wanprestasi ke Pengadilan Negeri. Wanprestasi adalah kelalaian / ketidakmampuan dalam memenuhi prestasi. Adapun prestasi dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Selanjutnya, terkait dengan tindakan developer yang melaksanakan pengosongan paksa terhadap rumah Saudara lalu mengangkut barang-barang untuk dipindahkan yang diakibatkan oleh Wanprestasi Saudara, sepanjang hal tersebut sudah dilakukan teguran (somasi) terlebih dahulu sebelumnya, kemudian tidak ada barang-barang milik Saudara yang rusak ataupun hilang karena tersimpan rapi di gudang developer, maka perbuatan tersebut masih dapat dianggap layak menurut hukum.
Akan tetapi, jika sewaktu pengosongan yang terjadi terdapat unsur-unsur kekerasan atau ancaman kekerasan di dalamnya, maka pihak developer dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena diduga melanggar ketentuan Pasal 335 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus Rupiah.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
|
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)