Jakarta –
Serangan Israel di Gaza, Palestina diketahui menelan ribuan korban jiwa dan menghancurkan bangunan-bangunan di kota tersebut. Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi menganggap serangan di Gaza tersebut melanggar hukum humaniter.
Lalu, apa itu hukum humaniter? Bagaimana ketentuan penggunaan hukum internasional tersebut? Ini penjelasannya.
Dikutip dari situs Komite Palang Merah Internasional, Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humaniter Law (IHL) adalah hukum yang berlaku pada situasi konflik bersenjata dan kependudukan. Hukum Humaniter adalah seperangkat aturan yang bertujuan untuk membatasi dampak konflik bersenjata demi alasan kemanusiaan.
Hukum Humaniter ini melindungi orang-orang yang tidak atau tidak lagi berpartisipasi secara langsung atau aktif dalam permusuhan, dan memberikan batasan pada sarana dan metode peperangan. HHI dikenal juga sebagai hukum perang atau hukum konflik bersenjata.
Ketentuan Hukum Humaniter
Hukum Humaniter adalah bagian dari hukum publik internasional, yang terdiri dari perjanjian, hukum adat, dan prinsip-prinsip umum hukum. HHI mengatur aktivitas selama konflik bersenjata dan situasi pendudukan.
Hukum Humaniter mengatur perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata (jus in bello). Jenis hukum ini berupaya untuk meminimalkan penderitaan dalam konflik bersenjata, terutama dengan melindungi dan membantu semua korban konflik bersenjata semaksimal mungkin.
Adapun hukum humaniter berbeda dengan hukum publik internasional, sebagaimana dalam Piagam PBB, yang mengatur apakah suatu negara boleh secara sah menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara lain (jus ad bellum). Piagam tersebut melarang penggunaan kekerasan dengan dua pengecualian, dalam kasus pembelaan diri terhadap serangan bersenjata dan ketika penggunaan kekuatan bersenjata diizinkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sejarah Hukum Humaniter Internasional
Dasar Hukum Humaniter Internasional (HHI) dimulai pada abad ke-19, terutama melalui penerapan Konvensi Jenewa tahun 1864 tentang Perbaikan Kondisi Tentara yang Terluka di Lapangan dan Deklarasi Saint Petersburg tahun 1868, yang melarang penggunaan proyektil tertentu di masa perang.
Sejak saat itu, negara-negara telah menetapkan serangkaian aturan praktis untuk mengimbangi perkembangan sarana dan metode peperangan serta konsekuensi kemanusiaan yang terkait dengannya. Aturan HHI memberikan keseimbangan antara masalah kemanusiaan dan persyaratan militer negara dan non-negara pihak dalam konflik bersenjata. Aturan tersebut juga menangani berbagai persoalan, seperti
- Perlindungan bagi anggota angkatan bersenjata yang sakit dan terluka;
- Perlakuan terhadap narapidana perang dan orang-orang lain yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata;
- Perlindungan terhadap penduduk sipil dan objek sipil; dan
- Pembatasan penggunaan senjata dan metode tertentu peperangan.
Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 (GC I, II, III dan IV), yang telah disetujui secara universal, merupakan perjanjian inti Hukum Humaniter Internasional. Konvensi-konvensi tersebut telah dilengkapi dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 (AP I dan AP II), masing-masing berkaitan dengan perlindungan korban konflik bersenjata internasional dan non-internasional; dan berdasarkan Protokol Tambahan III tahun 2005 (AP III), terkait dengan lambang pembeda tambahan (kristal merah).
(kny/imk)