Kerap dijumpai orang parkir di bahu jalan. Sehingga tidak sengaja ada yang menabrak kendaraan itu. Lalu siapakah yang salah? Yang parkir atau yang menabrak?
Berikut pertanyaan pembaca:
Assalamualaikum, permisi sebelumnya saya ingin bertanya.
Saya pengguna sepeda motor. Hari ini teman saya mengalami kecelakaan menabrak mobil yang sedang terparkir di bahu jalan. Kondisi di malam hari dan di lokasi kejadian kurang penerangan/cukup gelap.
Kejadiannya teman saya sedang melaju dan tidak melihat posisi mobil yang sedang terparkir di sisi jalan sehingga menabrak bagian belakang lampu mobil. Kondisi motor dan mobil sama-sama mengalami kerusakan.
Kemudian teman saya diminta pertanggungjawaban perbaikan mobil sebesar Rp 2 juta. Teman saya belum mengiyakan dikarenakan tidak mampu membayar karena memang kondisi sedang sulit.
Teman saya mencoba untuk negosiasi karena hanya mampu membayar Rp 500 ribu. Akan tetapi pemilik mobil menolak. Sedangkan kondisi teman saya pun pada saat itu dalam keadaan jari kelingking patah dan pinggul tidak bisa digerakan.
Saya merasa di sini bukan hanya pemilik mobil saja yang dirugikan akan tetapi teman saya juga dirugikan karena saya merasa pemilik mobil pun sudah salah dengan memparkirkan kendaran sembarangan apalagi kondisi penerangan pun kurang.
Pertanyaan saya, bagaimana caranya menyelesaikan permasalahan ini?
Terimakasih sebelumnya
Indah
Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi.
Nah untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta jawaban dari Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Hasanudin, S.H., M.H. Berikut jawabannya:
Membaca kronologis berdasarkan pertanyaan pemohon konsultasi :
1. Pemotor menabrak mobil yang berhenti/terparkir
2. Locus kejadian di bahu jalan
3. Situasi tidak melihat saat melaju dan kondisi sekitar malam/gelap
4. Kerugian yang diderita : bagian belakang mobil defect (rusak) dan motor
Terhadap hal tersebut untuk mengambil sebuah penyelesaian penanganan masalah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
a. Bahwa dalam konteks kasus yang disampaikan pemohon, telah terjadi kecelakaan tabrak kendaraan yang sedang berhenti atau terpakir di bahu jalan yang disebabkan menurut laporan terjadi karena kondisi sekitar gelap sehingga korban (pihak pemilik mobil) mengalami kerugian/kerusakan.
b. Pasal 1 ayat 15, parkir adalah ‘keadaan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya’.
c. Memaknai pasal 1 ayat 15 ini perlu dilihat mendalam bahwa dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak hanya mengenal istilah parkir tetapi juga dikenal istilah berhenti. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 1 ayat 16, yaitu keadaan kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya. Sehingga diasumsikan perbedaan pengertian istilah parkir dan berhenti merujuk pada posisi pengemudi, yaitu sudah meninggalkan kendaraan atau tidak.
d. Bahwa dengan demikian perlu diterangkan kembali duduk perkara mobil yang terparkir menurut pemohon konsultasi, apakah dalam kondisi parkir atau berhenti? Terhadap hal ini perlu meminta keterangan pemilik mobil sebab kenapa ia berhenti.
e. Memahami pengertian keduanya juga bisa memudahkan pengemudi mematuhi aturan dilarang parkir yang dikenal dengan rambu lambang P tercoret atau dilarang berhenti yakni rambu lambang S dicoret. Sebaliknya, jika berada di area rambu P tercoret berarti pengemudi tak boleh parkir, tetapi masih memungkinkan berhenti sementara. Sementara di area dilarang berhenti rambu S dicoret pengemudi tak boleh berhenti, apalagi parkir.
f. Bahwa terhadap kondisi yang dinyatakan parkir, ada aturan yang mendelagasi boleh dan tidaknya parkir yakni Pasal 120, di mana disebutkan ‘Parkir kendaraan di jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah lalu lintas’. Kemudian, Pasal 121 mengatur setiap pengemudi yang berhenti atau parkir dalam keadaan darurat wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat bahaya, atau isyarat lain.
g. Terhadap aturan parkir ini wajib dipatuhi atau bisa kena sanksi maksimal kurungan penjara 1 bulan atau denda Rp 250 ribu sesuai Pasal 287. Sementara pelanggaran kewajiban memasang segitiga pengaman dan lainnya diancam maksimal pidana kurungan dua bulan atau denda Rp 500 ribu. Selain itu, perlu juga dipahami aturan tentang parkir juga diterapkan per daerah. Hal dimaksudkan untuk mengatur kondisi lalu lintas menjadi tertib dan bermanfaat bagi pengguna jalan dalam rangka keselamatan dan kenyamanan berkendaraan.
h. Bahwa selanjutnya terhadap aturan berhenti, diatur dalam Pasal 118, berikut isinya selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:
i. Terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh;
ii. Pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
iii. Di jalan tol.
Penjelasan soal Pasal 118 huruf b, yaitu: Yang dimaksud dengan “tempat tertentu yang dapat membahayakan” adalah:
i. Tempat penyeberangan Pejalan Kaki atau tempat penyeberangan sepeda yang telah ditentukan; ii. Jalur khusus Pejalan Kaki;
iii. Tikungan;
iv. Di atas jembatan;
v. Tempat yang mendekati perlintasan sebidang dan persimpangan;
vi. Di muka pintu keluar masuk pekarangan;
vii. Tempat yang dapat menutupi Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; atau
viii. Berdekatan dengan keran pemadam kebakaran atau sumber air untuk pemadam kebakaran.
i. Merujuk pada huruf e, perlu dilakukan pendalaman apakah posisi mobil sudah dalam kondisi menurut rambu lalu lintas yang diatur seperti huruf P dicoret untuk dilarang parkir atau huruf S dicoret untuk dilarang berhenti. Bilamana ada rambu tersebut, maka dipastikan pemilik mobil masuk dalam pelanggaran lalulintas. Tetapi bila tidak ada, maka tidak termasuk pelanggaran. Perlu dicek kembali apakah bahu jalan yang dimaksud ada petunjuk rambu-rambunya.
j. Bilamana ada rambu dan tidak diindahkan, terhadap dampak yang ditimbulkan dari berhenti atau parkir tersebut akan dikenakan sanksi yang berlaku.
k. Lalu bagaimana dengan pemotor ? terhadap pemotor perlu dicek terlebih dahulu atas kondisi gelap yang menurut pengakuannya menimbulkan terjadinya tabrakan.
l. Terhadap hal ini bahwa setiap kendaraan dilengkapi dengan lampu penerang (lampu utama) dan lampu sen. Dengan demikian, saat kondisi gelap seharusnya pemotor dapat melihat jika motornya dilengkapi dengan lampu yang menyala. Bila tidak terdapat lampu menyala sudah seharusnya ada tindakan untuk melengkapi lampu penerang untuk membantu penglihatan di malam hari. Jika yang terjadi tidak adanya tindakan memperbaiki, maka dapat disebut sebagai kelalaian atau bahkan kesengajaan. Atau juga perlu dipastikan apakah ada factor lain sehingga terjadi tabrakan. Faktor ini bisa menjadi pertimbangan dalam pengambilan pendapat dan bukti dukung menjadi penentu kasus tabrak kendaraan.
m. Terhadap kelalaian dan kesengajaan, UU 22 Tahun 2009 telah diatur dalam Pasal 310. Pasal ini khusus mengatur sanksi bagi pengemudi yang lalai.
(1) Berkendara lalai yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang pidana penjara paling lama enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp 1 juta.
(2) Berkendara lalai yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang dipidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 juta.
(3) Berkendara lalai yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 juta.
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.
Sementara bagi pengendara yang terbukti ada unsur kesengajaan diatur dalam pasal 311 yang mencakup:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 3 juta.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 4 juta.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp 8 juta.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 20 juta.
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta.
n. Dengan demikian, bahwa tuntutan ganti rugi yang disampaikan oleh pemilik mobil bilamana ia parkir atau berhenti di tempat yang diperbolehkan (tidak ada rambu larangan parkir atau berhenti) sesuai dengan pasal 310 UU No. 22 Tahun 2009, yakni Pasal 310 ayat 2.
o. Namun demikian eksekusi terhadap kerugian harus dilakukan dengan tahapan yang berlaku yang di dalamnya ada proses penyelidikan dan penyidikan kemudian dilakukan penuntutan dan diputus oleh pengadilan.
p. Tetapi bisa juga dilakukan melalui proses perdata (ganti rugi) dengan musyawarah mufakat sesuai kesepakatan dengan mempertimbangkan kerugian yang sudah dihitung sesuai dengan temuan/fakta kerugian. Ketentuan tentang ganti rugi juga diatur dalam Pasal 1246 KUH Perdata yang meliputi biaya, rugi, dan juga bunga. Dalam hal ini bungan dianggap sebagai segala kerugian yang yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan. Hal tersebut sudah diperhitungkan sebelumnya. Pada konteks ini ganti rugi harus dihitung berdasarkan nilai uang dan uang. Jadi, dalam hal ini ganti rugi hanya boleh diwujudkan dalam bentuk uang. Hal ini dimaksudkan agar menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian.
q. Dalam Pasal 1 Hukum Acara perdata, ganti rugi diartikan sebagai hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan dalam bentuk sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dan dituntut atau pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang. Dalam hal ini ganti rugi merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa atau keluarganya. Untuk pengajuan ganti rugi tersebut, terdakwa atau keluarga yang menuntut ganti rugi bisa mengajukannya melalui Pengadilan Negeri. Namun sebelumnya, syarat-syarat pengajuan ganti rugi harus dipenuhi terlebih dahulu.
r. Berkaca pada aturan hukum yang berlaku, tidak dikesampingkan juga penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui mediasi, negosiasi yang tujuannya mencari kesepakatan win win solusion tanpa mengesampingkan nilai kerugian yang diderita.
s. Bilamana segala aturan yang berlaku tidak dijumpai penyelesaian oleh karena salah satu pihak menghindar, melarikan diri dan tidak ada itikad baik maka terhadap tindakan tersebut dapat dikenakan tambahan sanksi pidana lainnya sesuai dengan tindakan yang dilakukan.
Kesimpulan
Berdasarkan kronologis dan hasil analisis terhadap kasus lalulintas yang disampaikan pemohon konsultasi perlu dilakukan pengumpulan bukti duduk perkara sebagai bahan pengambilan keputusan para pihak yang berselisih.
Adapun hal yang perlu dilakukan adalah :
1. Identifikasi pihak (siapa yang menabrak dan siapa yang ditabrak);
2. Identifikasi korban dan kerugian kedua pihak
3. Identifikasi jumlah materi kerugian kedua pihak
4. Pengumpulan data kronologis versi penabrak dan versi siapa yang ditabrak disertai bukti/data dukung
5. Pilihan penyelesaian masalah : kekeluargaan/musyawarah mufakat cukup berdua saja berdasarkan kesepakatan, bila tidak ditemukan sepakat bisa dilakukan dengan mediasi dengan menunjuk mediator (polisi, saksi mata yang netral, tokoh setempat, penunjukkan perwakilan keluarga, atau siapapun yang dianggap netral dan berkompeten)
6. Kesepakatan nilai ganti rugi
7. Mekanisme eksekusi ganti rugi
Hasanudin, S.H., M.H.
Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham