Jakarta –
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade mengkritisi uji coba sistem bayar tol tanpa henti atau Multi Lane Free Flow (MLFF) yang dilakukan Kementerian PUPR di Jalan Tol Bali Mandara. Andre menilai uji coba itu terkesan mubazir.
Diketahui, uji coba proyek tersebut sudah dimulai sejak Selasa (12/12/2023). Andre mengatakan, uji coba sistem MLFF ini bukan kali pertama dilakukan. Sebelumnya, pihak pemrakarsa sudah memasang perangkat MLFF di Jabotabek. Tepatnya di 2 ruas JORR dan 1 ke arah Bogor.
“Tapi sampai saat ini tidak ada kejelasan hasil uji coba maupun akurasi transaksi dari sistem MLFF berbasis satelit kepada para stakeholders termasuk BUJT, kreditur jalan tol, pemerintah, maupun publik. Uji coba sistem MLFF tersebut berjalan mubazir dan penuh ketidakjelasan,” kata Andre dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/12/2023).
Andre mengatakan, uji coba yang kali ini dilakukan di Bali menggunakan sistem yang berbeda dengan konsep awal proposal investasi KPBU MLFF. Konsep awal MLFF yang awalnya menggunakan satelit dan transaksi tanpa berhenti diubah menjadi Single Lane Free Flow (SLFF). Transaksi tetap dengan menggunakan lajur dan palang dengan menggunakan pelat nomor kendaraan sebagai identifikasi transaksi.
“Pihak yang melakukan uji coba berdalih ini adalah transisi menuju MLFF. Nyatanya kegiatan tersebut menjadi ajang pembohongan dan pembodohan publik,” tegas Andre.
Andre mengatakan secara operasional transaksi real time online belum diujicobakan secara massal oleh pihak pemrakarsa dimana dalam satu hari ada puluhan juta transaksi dan membutuhkan infrastruktur yang harus selalu online secara masif. Sehingga uji coba MLFF yang dilakukan di Bali tidak bisa mewakili dan dijadikan tolok ukur nasional.
Andre menilai transaksi dengan pelat nomor sebagai satu-satunya identifikasi sangat beresiko terhadap keamanan transaksi dan juga kenyamanan. Di mana pelat nomor dapat diduplikasi dan berpeluang menjadi masalah di kemudian hari.
Andre mengatakan masih banyak juga pelat nomor yang belum standar, dipalsukan, dimodifikasi, rusak, sehingga dapat menimbulkan bencana transaksi yang bertolak belakang dengan semangat mempercepat transaksi tanpa henti.
Andre menambahkan, secara teknologi, operasional, penegakan hukum, dan implementasi MLFF juga berbeda dengan konsep proposal awal. Dia menjelaskan, konsep tersebut bukan konsep baru di mana hampir semua Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sudah menggunakan Automatic Number Plate Recognition (ANPR).
“Kalau pakai sistem SLFF dengan plat nomor, BUJT juga bisa mengimplementasikan sendiri karena sudah lebih berpengalaman sebelumnya. Saat ini beberapa BUJT juga sudah menerapkan transaksi dengan peralatan berbasis frekuensi yang terbukti lebih handal ketimbang MLFF odong-odong ini,” kata Andre.
Andre mengatakan, rencana penerapan MLFF ini juga cacat hukum. Sebab, sampai sekarang, tidak diketahui berkali-kali kemunduran jadwal uji coba maupun implementasi.
Dia pun mempertanyakan apakah sejak tahun 2021 sampai 2023 ini sudah ada evaluasi terkait kontrak kerjasama investasinya. Menurutnya, para stakeholders tidak ada satupun yang bisa mengakses isi kontrak antara Kementerian PUPR dan pemrakarsa.
“Bagaimana jangka waktunya, bagaimana parameter keberhasilannya. Semua masih gelap dan sampai sekarang tidak dibuka. Termasuk mengubah MLFF satelit menjadi SLFF dengan plat nomor. Berdasarkan informasi yang saya dapat, bahkan pejabat-pejabat tinggi di PUPR tidak pernah melihat kontrak MLFF tersebut. Bisa dibilang juga bahwa ini adalah kontrak hantu,” kata Andre.
Sementara dari aspek bisnis, Andre mengatakan, sampai saat ini belum ada kepastian jaminan pendapatan dari pihak pemrakarsa dimana BUJT meminta 100% jaminan nilai transaksi dari operasional yang sekarang sudah berjalan.
Faktanya, kata Andre, pihak pemrakarsa malah sempat meminta uang deposit kepada para BUJT sebagai kompensasi atas teknologi yang belum diuji coba sampai sekarang. Pemrakarsa yang seharusnya melakukan investasi malah meminta uang kepada BUJT.
Andre menilai, para kreditur bank maupun lembaga pembiayaan non bank tidak akan mengeluarkan persetujuan kepada para BUJT atas jenis transaksi yang beresiko tinggi, yaitu berkurangnya pendapatan akibat kegagalan transaksi.
“Secara regulasi perbankan pihak pemrakarsa juga melampaui kewenangan lembaga switching yang dipersyaratkan Bank Indonesia. Dimana semua harus berizin dan proven demi kenyamanan dan keamanan transaksi para konsumen jalan tol,” imbuh Andre.
Andre pun mengingatkan agar proyek MLFF ini dihentikan. Sebab, apabila dilanjutkan, menurutnya akan menjadi skandal besar dan menimbulkan kerugian bagi negara, perusahaan jalan tol, dan juga masyarakat.
“Saya juga ingatkan jangan sampai pensiun nanti dikejar oleh aparat penegak hukum karena memaksakan barang hantu ini,” tegas Andre.
(eva/dhn)