Jakarta –
Hukum Perburuhan di Indonesia membolehkan adanya sistem kerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Lalu apakah pekerja dengan status PKWT berhak mendapatkan cuti?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate. Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan pembaca:
Dear Redaksi detik’s Advocate
Saya karyawan swasta di salah satu distributor lokal di Kota Malang.
Saya sudah bekerja selama 1 tahun 3 bulan, dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama berlaku selama satu tahun terhitung mulai tanggal 21 September 2022 – 20 September 2023. Dan pada 21 Oktober 2023 dengan alasan saya kurang memahami jobdesk, saya dibuatkan PKWT ulang dengan masa 6 bulan dengan periode 21 Oktober 2023 – 20 April 2023.
Kemarin tanggal 9 dan 11 saya mengajukan cuti, dan tidak ada tanggapan dari pihak HRD/atasan langsung terkait pengajuan cuti saya yang saya email pada 1 Desember 2023. Akan tetapi pada tanggak 11 Desember saya mendapatkan balasan email bahwa cuti saya tidak di-acc karena saya masih dalam tahap PKWT ulang / belum lolos / belum menjadi pegawai tetap, dan akan dipotongkan gaji karena sudah tidak masuk selama 2 hari.
Pertanyaan saya, apakah status belum menjadi pegawai tetap / kontrak tidak berhak untuk mendapatkan cuti secara UU Ketenagakerjaan? Padahal sudah bekerja selama lebih dari 12 bulan / setahun. Jika berhak apakah saya bisa menuntut secara hukum dan bagaimana langkah langkahnya?
Terima kasih
VP
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik’s Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Pada dasarnya cuti adalah hak dari setiap karyawan/pekerja/buruh yang bekerja pada suatu perusahaan. Hal ini sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 81 Angka (25) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) Juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 6/2023), yang mengubah ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), khususnya terkait Ayat (1), Ayat (3), dan Ayat (4), yang menyatakan :
“Pasal 81 Angka (25) Perppu Ciptaker :
Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Ayat (1) :
Pengusaha wajib memberi :
a. Waktu istirahat; dan
b. Cuti.
Ayat (3) :
Cuti sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf (b) yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Ayat (4) :
Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.”
Berdasarkan ketentuan hukum di atas, maka karyawan kontrak atau yang terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berhak mendapatkan cuti tahunan sepanjang yang bersangkutan melakukan PKWT untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun dan sudah bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Pengaturan dan tata cara tentang cuti tahunan dituangkan secara khusus ke dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama antara karyawan dengan perusahaan. Sekalipun perusahaan berwenang untuk mengatur mekanisme cuti bagi para karyawannya. Namun perusahaan tidak diperbolehkan untuk meniadakan atau menghilangkan cuti tahunan yang merupakan hak karyawan sesuai peraturan perundang-undangan.
Atas penghilangan hak cuti tahunan yang dilakukan perusahaan, terdapat ancaman sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- dan paling banyak Rp. 100.000.000,- sebagaimana yang tercantum di dalam ketentuan Pasal 187 UU Ketenagakerjaan.
Dari pertanyaan Saudara, dihubungkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, PKWT pertama hanya berlaku selama 1 (satu) tahun, kemudian setelahnya berlaku PKWT baru dengan jangka waktu selama 6 (enam) bulan.
Berdasarkan hal tersebut, kami berasumsi Saudara tidak berhak mendapatkan cuti tahunan karena hubungan kerja Saudara dan perusahaan sudah berakhir dengan mengacu kepada PKWT pertama yang hanya berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Sebagai tambahan referensi yang terkait dengan pertanyaan di atas, sehubungan dengan perbedaan pendapat mengenai hak cuti karyawan, permasalahan tersebut dapat dibicarakan secara musyawarah dengan pihak perusahaan. Perundingan ini disebut dengan bipartit. Apabila proses bipartit tidak menemukan penyelesaian, maka dapat melaporkannya kepada Dinas Tenaga Kerja setempat untuk mencatatkan perselisihan tersebut dengan membawa serta bukti bahwa upaya bipartit telah ditempuh tetapi menemui kegagalan. Proses ini disebut dengan tripartit.
Dinas Tenaga Kerja akan berupaya mendamaikan perselisihan melalui Mediasi Hubungan Indutrial antara pihak pekerja dengan perusahaan.
Selanjutnya apabila mediasi di Dinas Tenaga Kerja setempat tetap tidak mendapatkan hasil penyelesaian, maka sebagai langkah akhir dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Pengacara Yudhi Ongkowijoyo
|
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
|
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Saksikan Live DetikPagi:
Simak juga ‘Apakah Voice-over Adalah Produk HAKI?’:
(asp/imk)