Jakarta –
Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri menyerahkan bukti dokumen penanganan kasus dugaan suap eks pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan dalam sidang praperadilan. Langkah yang diambil Firli membuat Polda Metro Jaya bertanya-tanya.
Hal tersebut disampaikan Kabid Hukum Polda Metro Jaya Kombes Putu Putera Sadana dalam sidang praperadilan terkait penetapan tersangka Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (15/12/2023). Putu mewakili Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto menghadapi Firli Bahuri di praperadilan.
Putu menilai bukti tersebut tidak ada kaitannya dengan kasus dugaan korupsi yang membuat Firli menjadi tersangka.
“Ada beberapa dokumen dijadikan barang bukti dan kami sudah punya 159 barang bukti yang tentunya nanti diuji di sidang pokok perkara, bukan praperadilan. Tapi, pemohon (Firli Bahuri) menyampaikan barang bukti yang menurut kami tidak ada korelasinya dengan yang sedang dibahas di sidang Praperadilan. Bukti P26 sampai P37,” kata Putu.
“Saya baca contoh, P26 daftar hadir dan kesimpulan dan seterusnya tentang OTT DJKA. Ini barang bukti yang menurut kami tak linier dengan apa yang sedang kita bahas karena petitum yang bersangkutan salah satunya penetapan tersangka tidak sah,” sambungnya.
Putu kemudian bertanya kepada ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi yang dihadirkan pihaknya. Dia bertanya apakah dokumen yang diserahkan Firli itu termasuk dokumen yang perlu dirahasiakan atau tidak.
“Apakah dokumen ini termasuk dokumen negara yang perlu dirahasiakan atau tidak karena dalam kepolisian dirahasiakan, belum lagi sampai P37, hampir semua tentang DJKA dijadikan barbuk di sini. Kami bertanya apa korelasinya dengan kasus yang sedang kita bahas ini?” kata Putu.
Fachrizal Afandi kemudian menjawab. Fachrizal mengatakan, apabila dokumen penanganan kasus DJKA itu diperoleh dengan cara legal, hal itu tidak jadi masalah.
“Pertama, yang harus kita lihat itu buktinya seperti apa. Apakah bukti itu bersifat umum misalkan nama yang bisa kita akses secara luas di media atau database KPK yang bisa diakses secara publik. Tapi, kalau misalkan alat bukti itu yang diungkapkan di persidangan itu orang biasa susah mendapatkan, itu maka harus dilihat apa relevansinya dengan perkara ini,” tutur Fachrizal.
“Informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, misalkan mengungkap identitas informasi, pelapor, saksi atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana, atau misalkan mengungkapkan data intelijen kriminal, dan yang berhubungan dengan pencegahan dan penangan tindak pidana, kita bisa lihat bahwa proses itu sifatnya rahasia, dikecualikan dari informasi yang bersifat publik,” sambungnya.
Fachrizal menjelaskan siapa pun yang mengakses, memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan, maka diancam pidana paling lama 2 tahun penjara. Dia juga menyebut ada ancaman denda paling banyak Rp 10 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU KIP.
“Tapi, lagi-lagi kalau kita bicara perbuatan pidana, kita harus lihat mens rea (niat jahat) dan actus reus (unsur tindakan),” kata Fachrizal.
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Junaedi Saibih yang juga dihadirkan sebagai ahli mengatakan tindakan pengacara Firli yang membawa bukti berupa dokumen kasus DJKA tidak tepat. Hal itu karena tidak sesuai dengan materi yang dijadikan praperadilan.
“Harusnya yang menjadi praperadilan ini adalah terkait tentang proses penetapan tersangka tersebut secara formil, misal gimana pemanggilan dilakukan,” Junaedi.
“Adapun berkaitan dokumen rahasia seharusnya tidak boleh dibuka karena itu ada potensi nantinya akan terjadi hal membahayakan dalam proses penyidikan. Misalnya informasi orang itu berkaitan pemeriksaan dan sebagainya, lalu dikhawatirkan akan jadi penghambat proses penyidikan. Misal orangnya melarikan diri,” imbuhnya.
(taa/dhn)