Jakarta –
Mutia sudah sangat familiar dengan tokoh pewayangan. Bukan hanya lewat kata, ayahnya bahkan mendongenginya lewat gambar. Ia mengingat kembali malam-malam di masa kecilnya. Dongeng bukanlah kata-kata yang terucap dari ayahnya, melainkan gambar-gambar yang berbicara.
Melalui goresan pena sang ayah, Mutia kecil belajar komunikasi yang melampaui kata-kata. Gambar buatan sang ayah menajamkan imajinasi, serta mendorong kreativitas di benak Mutia. Hingga akhirnya Mutia pun tumbuh menjadi seniman visual-ia adalah desainer produk, serta guru seni rupa untuk anak-anak.
“Jadi bapak tuh suka cerita tentang Pandawa, gitu ya. Tentang hari-harinya dia di kantor gitu ya, kenapa dia nggak bisa ditelepon pada saat itu. Dia itu nggak ngomong secara verbal. Tapi, beliau itu tuh malah menceritakannya lewat gambar,” kenang Mutia di program Sosok detikcom.
Cerita masa kecilnya ini membawa Mutia hingga menjadi guru seni. Di sinilah perjumpaan pertamanya dengan art therapy. Menurutnya, hasil gambar para murid yang dilatihnya menyimpan latar belakang yang bisa dipelajari atau pesan yang ingin disampaikan.
“Nah di situ saya sebenarnya melihat karya-karya anak-anak. Dan ternyata di dalam gambar-gambar tersebut ada beberapa pesan yang mungkin, kita bisa lebih perhatikan gitu. Seperti misalnya ada kesedihan di situ, terus ada warna-warna yang mencolok. Sesuatu yang kayak, indikator-indikator yang sebenarnya menjadi pertanyaan bagi saya,” terang Mutia.
Mutia menuturkan, pada dasarnya terapi seni adalah bentuk psikoterapi yang memakai seni sebagai media untuk komunikasi dan berekspresi. Terapi seni bisa mengakomodasi mereka yang sulit berekspresi dengan kata-kata, seperti anak-anak dan orang dengan trauma psikologis berat.
Media yang digunakan untuk terapi seni juga beragam. Tak hanya berupa pensil dan cat, terapi seni juga menggunakan media taktil seperti tanah liat, hingga media digital seperti aplikasi menggambar di gawai. Setiap media memiliki fungsi dan tujuannya masing-masing, tergantung kebutuhan penggunanya.
“Kalau misalnya pakai pensil itu kan mungkin lebih controlled, gambarnya lebih detailed. Jadi itu kita pakai biasanya untuk assessments, untuk bercerita. Kalau misalnya kita pakai paint atau watercolor, itu lebih fluid. Jadi kita biasanya pakai untuk relaxation, lebih kayak mendalami diri sendiri, lebih kepada perasaan, gitu. Kalau clay itu sendiri juga lebih tactile, lebih sensory, gitu ya. Jadi semua materials itu tuh punya fungsi yang berbeda-beda,” tutur Mutia.
Mutia memfokuskan diri menjadi seorang terapis seni sejak 2012. Dengan gelar master dari Art Therapy di Lasalle College, Singapura, ia pun mendirikan klinik terapi seninya sendiri, yaitu Art+i Art Therapy Jakarta pada 2 November 2016. Art+i Art Therapy berfokus memberi layanan evaluasi, konseling, dan intervensi, terutama terapi seni, untuk individu di segala usia dengan berbagai kebutuhan psikologis.
Mutia merupakan satu dari hanya enam terapis seni berlisensi di Indonesia. Hingga saat ini, bidang terapi seni di Indonesia masih tergolong langka. Akibatnya, banyak yang masih salah paham terkait profesi ini. Maka, Mutia punya tugas tambahan, yaitu untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya terapi seni.
“Masyarakat masih belum mengerti tentang art therapy itu ternyata itu sebenarnya profesi yang serius dan bisa membantu, benar-benar bisa membantu orang-orang yang memiliki kebutuhan di kesehatan mental, gitu. Jadi akhirnya, art therapist-art therapist sekarang ini tugasnya itu adalah untuk mengedukasi massa,” jelas Mutia.
Edukasi mengenai terapi seni terus digaungkan oleh Mutia. Melalui media sosial Art+i Art Therapy Jakarta, Mutia dan timnya getol membuat ragam konten edukasi tentang terapi seni. Tak hanya itu, Art+i Art Therapy juga aktif membuat pelatihan terapi seni di berbagai instansi korporat maupun instansi pendidikan.
Mutia percaya, bahwa seni adalah medium komunikasi yang belum dieksplor terlalu jauh. Inilah cita-cita baru Mutia, ia ingin menjelajah lebih banyak tentang berbagai manfaat seni yang belum terjamah.
“Saya percaya kalau art itu tuh belum sepenuhnya digarap, belum sepenuhnya kita explore gitu the function of arts. Jadi ya saya sangat look forward ya, masih di situ lah gitu sampai sekarang ini,” ujar Mutia.
(nel/vys)