JAKARTA – Sidik jari adalah salah satu alat paling berharga, dan kunci bagi dunia forensik serta keamanan karena keunikan polanya.
Selama bertahun-tahun kita mengetahui setiap sidik jari tidak pernah memiliki pola yang sama, bahkan kembar identik sekalipun. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan menggunakan kecerdasan buatan (artificial Intelligence/AI) membantah klaim tersebut.
Meskipun keunikan sidik jari menjadikannya sangat penting dalam investigasi lokasi kejadian, ketidakmampuan untuk mencocokkan sidik jari dari jari yang berbeda dari orang yang sama – yang disebut sidik jari intra-orang – dapat menyebabkan masalah besar dalam menghubungkan bukti forensik.
Dilansir dari IFLScience, para peneliti dari Columbia University menyatakan mereka telah menciptakan model AI yang mampu mencocokkan sidik jari intra-orang dengan tingkat keakuratan sebesar 99,99 persen. Mereka mengklaim bahwa sidik jari dari orang yang sama tidaklah unik – kita hanya membandingkannya dengan cara yang salah.
Pola sidik jari terdiri dari tonjolan-tonjolan yang menonjol dan alur-alur tersembunyi pada bantalan jari. Saat ini, sidik jari dianalisis dengan membandingkan pola gesekan punggungan yang terbagi dalam tiga kategori – loop, whorls, dan arches. Seorang analis akan menggunakan karakteristik punggungan, yang dikenal sebagai minutiae, untuk mengidentifikasi dan membandingkan karakteristik sidik jari.
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di
ORION, daftar sekarang dengan
klik disini
dan nantikan kejutan menarik lainnya
Tetapi proses yang menggunakan AI ini didasarkan pada analisis pola biner, orientasi punggungan, kepadatan punggungan, dan minutiae. Dengan menganalisis pusaran dan putaran di dekat pusat sidik jari, yang dikenal sebagai singularitas, mereka menemukan bahwa sebagian besar kesamaan sidik jari intra-orang dijelaskan oleh orientasi punggungan, dan menyimpulkan bahwa peta-peta minutiae adalah kategori analisis yang paling tidak dapat diandalkan.
Mereka berargumen bahwa meskipun analisis detail mungkin paling akurat untuk pencocokan jari yang sama, analisis ini berfokus pada kekhasan sidik jari tunggal yang tidak mungkin terjadi pada sidik jari intra-orang, sehingga kurang akurat untuk pencocokan silang.
Model ini dilatih menggunakan basis data pemerintah Amerika Serikat (AS) yang terdiri dari sekitar 60.000 sidik jari dan 525.000 gambar. Para peneliti mendapati bahwa kemampuan AI ini konsisten pada berbagai jenis kelamin dan ras. Bahkan model ini memiliki kinerja paling baik ketika dilatih dengan sampel dari seluruh kelompok.
“Bayangkan saja seberapa baik kinerjanya ketika dilatih dengan jutaan, bukan ribuan sidik jari,” ujar Aniv Ray dari Columbia Engineering sebagaimana dilansir IFL Science.
“Yang lebih menarik lagi adalah fakta bahwa mahasiswa sarjana yang tidak memiliki latar belakang forensik sekalipun dapat menggunakan AI yang melawan kepercayaan yang dipegang teguh oleh seluruh bidang. Kita akan mengalami ledakan penemuan ilmiah yang dipimpin oleh kecerdasan buatan oleh non-ahli, dan komunitas ahli, termasuk akademisi, harus bersiap-siap.” ucap salah satu penulis dan profesor di Columbia Engineering, Hod Lipson.
Para peneliti berharap model AI ini kelak dapat digunakan untuk memprioritaskan kebenaran, membebaskan tersangka yang tidak bersalah, dan membantu menemukan petunjuk baru pada kasus-kasus yang tidak dapat dilanjut.