Jakarta –
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan Presiden/CEO World Resources Institute (WRI Global) Ani Dasgupta mengoreksi data deforestasi dari Global Forest Watch (GFW). Siti mengatakan pihaknya mengoreksi perhitungan GWF yang memasukkan kawasan non-hutan alam.
“Memasukkan kawasan non-hutan alam dalam perhitungan deforestasi versi Global Forest Watch, jelas salah. Proses koreksi terus dilakukan melalui kemitraan teknis dengan WRI,” kata Siti dalam kunjungan kerja lapanganya di Taman Nasional Sebangau bersama Kepala Urusan Kehutanan Amerika Serikat (USFS) Randy Moore seperti dikutip dari keterangan pers tertulisnya, Rabu (24/1/2024).
Siti mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan WRI telah melakukan koreksi terhadap data deforestasi Indonesia 2022 versi GFW hampir 54%. Data sebelumnya menyebutkan seluas 230 ribu hektar berubah menjadi 107 ribu hektar.
“Hasil analisis bersama tersebut bisa diakses di website Global Forest Watch,” ujarnya.
Siti menjelaskan langkah koreksi data deforestasi versi Global Forest Watch tersebut dilakukan setelah melakukan peninjauan bersama ke lapangan pada Juni 2022. Siti menyebut perwakilan dari Pemerintah Norwegia juga turut serta dalam peninjauan lapangan tersebut.
“Perwakilan dari Pemerintah Norwegia juga turut serta dalam peninjauan lapangan tersebut dan menyaksikan langsung bahwa terdapat kawasan non-hutan alam (seperti kebun sawit, hutan tanaman, dan kebun masyarakat) dimasukkan sebagai hutan primer,” katanya.
Koreksi Data Karhutla
Siti mengatakan pihaknya dengan WRI juga tengah melakukan koreksi terhadap data kebakaran hutan dan lahan versi GFW. Siti mengatakan karhutla besar terjadi pada 2015 dan 2019, bukan 2016 dan 2020 seperti dari data GFW.
“Data karhutla Global Forest Watch mengungkapkan bahwa karhutla serius terjadi pada 2016 dan 2020. Faktanya, bukan terjadi pada kedua tahun itu, melainkan tahun 2015 dan 2019,” kata Siti.
“Koreksi awal sudah dilakukan dengan menambahkan penjelasan teknis di bagian bawah grafik Global Forest Watch yang terkait Indonesia. Bisa dilihat di website mereka,” imbuhnya.
Siti juga memaparkan perkembangan terbaru dari pelaksanaan MOU dengan WRI di Washington DC. Akhir Februari nanti, kata Siti, akan dilakukan analisis mengenai data deforestasi 2023 versi GFW.
“Tim dari University of Maryland (sebagai pihak penyedia data), Global Forest Watch dan WRI DC akan ke Jakarta akhir Februari ini untuk bersama-sama dengan tim KLHK dalam penyiapan analisis bersama serta tinjauan ke lapangan,”jelasnya.
“Koreksi lanjutan terhadap data Global Forest Watch serta penguatan data kehutanan Indonesia akan terus berlanjut dalam kolaborasi teknis KLHK dengan WRI DC, yang didukung oleh Pemerintah Norwegia,” tambahnya.
Siti menegaskan ini bukan lagi perihal beda cara baca data. Akan tetapi, kata Siti, data dari GWF harus dikoreksi karena tidak sesuai dengan yang terjadi.
“Jadi, ini bukan masalah beda cara baca data, tapi memang bagian-bagian dari data Global Forest Watch tersebut yang harus dikoreksi. Ada yang telah dikoreksi dan ada yang sedang dalam proses dikoreksi,” ujar Siti.
Respons Mahfud
Soal orang salah baca data terkait deforestasi sebelumnya sudah disinggung Siti. Calon Wakil Presiden nomor urut 3, Mahfud Md, mengatakan data yang disampaikannya saat debat cawapres tidak salah, tapi beda dari yang dipegang Siti.
“Memang betul, bukan kesalahan tapi perbedaan membaca data. Yang disampaikan Bu Siti Nurbaya itu adalah deforestasi netto, data yang ada di KLH dan di BPS itu yang memang ada di situ,” ucap Mahfud di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Selasa, (23/1).
Dia menyebut dirinya membaca data dari Global Forest Watch. Dia mengatakan data tersebut terkait hilangnya hutan dalam waktu tertentu.
“Sedangkan data yang saya baca dari, Global Forest Watch dunia. Global forest watch itu memotret hilangnya atau tutupan hutan dalam waktu tertentu. Sedangkan deforestasi netto itu merupakan, deforestasi bruto dan dikurangi reforestasi sehingga sisanya catatan oleh Bu Siti Nurbaya,” ujarnya.
“Padahal, yang rusak sebelum reforestasi itu tetap rusak karena terjadi deforestasi. Karena Bu Siti Nurbaya mengurangi itu dengan reforestasi itu bisa menghitung seperti itu, gitu,” tambahnya.
Mahfud mengaku dirinya juga membaca data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS) dan KLHK). Namun, dia tetap menggunakan data Global Forest Watch.
“Seperti data yang ada di BPS dan juga LHK saya juga baca. Dan ini sebenarnya sudah ditulis secara menghitung ini oleh Prof Hariadi Kartodihardjo pada 9 November 2021 atau 2022 teori menghitung ini. Saya pakai Global Forest Watch ini dan tidak ada yang salah, cuma Bu Siti Nurbaya mengurangi dengan tambahan, tapi di tempat lain yang rusak lebih dulu kan tidak tertutupi juga,” katanya.
Mahfud pun tak mempermasalahkan hal itu. Dia mengatakan dirinya tetap memakai data dari Global Forest Watch.
“Itu saja, tidak apa-apa bagus ini. Sama-sama benar, tinggal mau baca dari mana, bruto atau netto. Saya pakai Global Forest itu setiap tahun rusaknya dalam 10 tahun, nih segini loh rusaknya,” ujarnya.
“Deforestasi ini kan di tempat lain banyak yang rusak. Data soal ini dari tahun ke tahun, tempat ke tempat itu kalau anda perlukan ada di Andi Widjajanto di TPN lengkap perbedaan data hitung,” tutupnya.
(whn/dhn)