Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penetapan tersangka mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dalam kasus suap dan gratifikasi oleh KPK dinyatakan tidak sah. Hakim melakukan sejumlah pertimbangan dalam memutuskan mengabulkan gugatan praperadilan Eddy tersebut.
“Menimbang bahwa selanjutnya, Hakim mempertimbangkan, apakah penetapan pemohon sebagai tersangka telah didasarkan kepada 2 alat bukti. Menimbang, bahwa bukti T.2 sampai dengan T.18, berupa berita acara permintaan keterangan berdasarkan surat perintah penyelidikan, bukan berdasarkan kepada surat perintah penyidikan sebagaimana bukti T.44 dan T.47,” kata hakim ketua Estiono dalam persidangan di PN Jaksel, Selasa (30/1/2024).
Hakim menyebutkan proses penyelidikan terhadap Eddy Hiariej belum bernilai pro justicia atau belum bernilai undang-undang. Menurutnya, proses penyelidikan diatur pada Pasal 1 angka 5 KUHAP.
“Menimbang bahwa proses penyelidikan belum bernilai Pro Justitia, yang berati belum bernilai Undang-Undang, karena proses penyelidikan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana menyatakan: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini,” ujarnya.
Hakim juga mempertimbangkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHAP. Hakim menyatakan tak setuju dengan keterangan ahli pidana Azmi Syahputra yang diajukan KPK dalam persidangan.
“Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Menimbang, bahwa dari ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP dapat diketahui, tujuan penyidikan adalah untuk menemukan tersangka. Menimbang, bahwa Hakim tidak sependapat dengan keterangan ahli pidana yang diajukan termohon atas nama Dr Azmi Syahputra, SH.,MH, di bawah sumpah,” ucap Hakim Estiono.
“Menimbang, bahwa Hakim tidak sependapat dengan ahli yang diajukan termohon, karena yang menjadi pokok persoalan adalah apakah penetapan tersangka memenuhi minimum 2 alat bukti,” lanjutnya.
Pertimbangan lainnya yakni putusan yang diajukan KPK tak dapat menjadi rujukan perkara praperadilan. Menurut hakim, setiap perkara memiliki karakter berbeda.
“Menimbang, bahwa bukti berbagai putusan yang diajukan termohon, tidak dapat menjadi rujukan dalam praperadilan a quo, karena tiap perkara memiliki karakter yang berbeda, dan tidak ada kewajiban bagi Hakim untuk mengikuti putusan terdahulu,” ujarnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya: