Saat ini, Indonesia menggunakan satelit Geostationery Orbit (GEO) dan Low Earth Orbit (LEO), yang melayani dari ketinggian yang berbeda. GEO yang berada di orbit yang lebih tinggi menawarkan kestabilan posisi yang unggul dengan kapasitas transponder yang besar yang ideal untuk melayani wilayah geografi Indonesia yang luas, sementara LEO menawarkan latensi rendah dengan kecepatan tinggi, namun kapasitas transpondernya terbatas.
Berbicara di acara Diskusi IndoTelko Forum bertema “Menatap Masa Depan Bisnis Satelit GEO”, Selasa (30/1/2024) Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto mengatakan bahwa jika berbicara mengenai satelit, maka tak bisa terlepas dari pembahasan mengenai slot orbit. Hal ini dikarenakan pertumbuhan jumlah satelit harus mempertimbangkan juga pengelolaan slot orbit.
Tanpa slot orbit, satelit tidak bisa ditempatkan di angkasa, selain itu, slot orbit juga menjadi wujud kedaulatan sebuah bangsa di angkasa.
“Sekali kita melepas slot orbit atau tidak memanfaatkan slot orbit, kerugian besar bagi bangsa ini,” kata Doni.
Menurutnya, bisnis satelit di Indonesia jarang diangkat isunya, di luar soal peluncurannya atau jika ada masalah, lantaran saat ini Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) ahli industri satelit. Selain itu, industri lokal atau startup belum banyak memanfaatkan untuk mengembangkan bisnis satelit.
“Karena itu kita harus mulai mengatasi tantangan talenta berkualitas, tantangan teknis, dan memperbesar kolaborasi antarpemain industri agar Indonesia jadi pemain besar di bisnis satelit global,” pungkas Doni.
Sementara itu Dosen ITB, Kelompok Keahlian Telekomunikasi M Ridwan Effendy menyoroti bagaimana pentingnya bisnis satelit terutama untuk menjaga kedaulatan bangsa.
“Kalau kita bicara kedaulatan kuncinya ada pada kendali, apakah kita bisa kendalikan bisnis satelit, kendalikan keamanannya, kendalikan dari serangan-serangan yang mengancam dan sebagainya,” papar Ridwan.
Menurut Ridwan, saat ini ada beberapa satelit nasional yang mengorbit, seperti BRIsat yang akan mengorbit hingga 2031, satelit Nusantara Satu hingga 2034, Telkom 3S hingga 2032 dan satelit Merah Putih hingga 2033. Dengan demikian total kapasitas satelit nasional mencapai 8653 MHz dengan kapasitas ekuivalen 17 Gbps.
Selanjutnya, ada HTS Bakti Ka Band di orbit 146 BT yang sudah diluncurkan dan menyusul HTS Telkomsat yang akan menggantikan Orbit 113 yang semula Palapa D Indosat pada 2024.
“Faktanya, kapasitas selalu habis sebelum satelit meluncur, slot itu penuh,” kata Ridwan.
Untuk itu, perlu kerja sama bagaimana membuat satelit asing berguna bagi kedaulatan Indonesia, terutama dengan cara mengendalikan Sistem Manajemen Jaringan (NMS) dan Gatewaynya harus di Indonesia, demi keamanan negara.
Menurut Ridwan, untuk mendorong bisnis satelit di Indonesia, pemerintah perlu melakukan beberapa hal.
Misal pertama, dengan memberikan peluang kepada swasta dan BUMN untuk menyediakan komunikasi satelit geostasioner, karena satelit GEO masih dibutuhkan, Pembanguannya bisa dengan isentif berupa dana universal service obligation (USO) dan APBN.
Kemudian, dengan membentuk satelit nasional milik Indonesia dan asing dengan akses ke NMS, serta gateway yang berada dalam yuridiksi Indonesia.
Ini untuk mengantisipasi tingginya satelit LEO yang cakupannya adalah global. “Di sini peran Satelit Bakti bukanlah sebagai kompetitor operator tapi jadi pelengkap,” katanya.
“Hal ini penting untuk memastikan agar Negara memiliki kendali atas infrastruktur siber serta kebijakan internet seperti trust positive yang dijalankan oleh Kominfo dan kebijakan lawful intercept dapat dilaksanakan,” lanjut Ridwan.
Sementara mantan Ketua ASSI Periode 2005-2011 Tonda Priyanto menyebutkan, Indonesia sudah memiliki satelit sejak 1976 yang berguna sebagai penanda kedaulatan bangsa, pemersatu bangsa serta menjamin keamanan bangsa.
Di Asia Pasifik, pertumbuhan bisnis satelit sangat tinggi terutama di India, didorong oleh penggunaan konektivitas global, meningkatnya peluncuram satelit LEO, serta meningkatnya peluncuran satelit internet untuk pertahanan.
“Untuk Indonesia, satelit menjadi bagian “complementary solutions” (solusi pelengkap) jaringan telekomunikasi, jadi GEO dan LEO bisa saling melengkapi sesuai dengan kebutuhannya, ” kata Tonda.
Apalagi, tak semua wilayah bisa terkoneksi dengan jaringan serat optik.
Menurut Tonda, terdapat beberapa aspek agar bisnis satelit di RI bisa sukses. Antara lain, dinamika pasar dan model bisnis satelit, kemitraan dan kolaborasi, aspek regulasi hingga talenta dalam negeri dan internasional.
“Talenta tidak hanya dari sisi teknis tapi juga kepemimpinan atau leadership yang punya visi jangka panjang dan global,” katanya.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyebutkan, Indonesia memiliki satelit terbanyak di Asia Tenggara dengan 18 satelit hingga Juni 2023. Disusul Singapura 15 satelit.
Sementara regulasi mengenai satelit di Indonesia termaktub dalam UU Telekomunikasi No.36/1999, serta UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Menurut Heru, saat ini Indonesia baru memiliki beberapa satelit operasional untuk melayani kebutuhan telekomunikasi dan penyiaran, sehingga hal ini menjadi tantangan agar perkembangan satelit RI tak kalah dari satelit asing.
Satelit asing digunakan di Indonesia untuk mendukung penyediaan layanan satelit yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh kapasitas satelit nasional.
“Penggunaan Satelit Asing di Indonesia wajib memiliki Hak Labuh Satelit dan wajib memenuhi sejumlah ketentuan tertentu,” katanya. Tentunya ini jadi tantangan dari sisi regulasi agar satelit asing tak memiliki “pangsa pasar” besar pada slot orbit RI.
Heru menyampaikan, teknologi satelit masih dibutuhkan Indonesia untuk mengisi ”sinyal” internet broadband yang tidak terjangkau dan belum terlayani teknologi seluler dan kabel serat optik, serta menjadi backup.
Untuk itu, alokasi slot orbit satelit harus dilakukan secara berhat-hati dan diberikan pada penyelenggara yang memiliki kemampuan finansial cukup dan memaksimalkan penggunaan slot orbit satelit ke depannya.
Tantangan regulasi lain adalab bagaimana menciptakan pasar yang sehat di bisnis satelit. “Bisnis satelit harus dilakukan dalam iklim persaingan usaha yang sehat,” pungkasnya.