Jakarta –
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung telah membacakan putusan atas terdakwa Direktur Utama PT Amarta Karya Persero Catur Prabowo di kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif tahun 2018-2020. Catur dijatuhkan hukuman 9 tahun penjara.
“Catur Prabowo dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU TPPU Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,” ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (5/2/2024).
Selain pidana penjara, Catur divonis membayar denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan serta tetap berada dalam tahanan. Selain itu, Catur harus membayar uang pengganti Rp 30,1 miliar.
“Pidana penjara selama 9 tahun dan membayar denda Rp1 Miliar subsidair 8 bulan kurungan serta tetap berada dalam tahanan. Membayar uang pengganti Rp 30,1 miliar,” katanya.
Sementara itu, mantan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan divonis penjara 5 tahun 4 bulan. Lebih lanjut, Trisna juga diharuskan membayar denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan serta tetap berada dalam tahanan dan diharuskan membayar uang pengganti Rp 1,3 miliar.
“Pidana penjara selama 5 tahun dan 4 bulan kemudian membayar denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan serta tetap berada dalam tahanan. Membayar uang pengganti Rp 1,3 miliar,” ucapnya.
Atas putusan tersebut, Ali menyebut Jaksa KPK belum memutuskan mengajukan banding atau tidak. Jaksa KPK akan memikirkan langkah selanjutnya 7 hari ke depan.
“Tim JPU yang diwakili Kasatgas Penuntutan Gina Saraswati menyatakan sikap pikir-pikir atas putusan tersebut dalam waktu 7 hari ke depan untuk menyatakan sikap kaitan langkah hukum berikutnya,” katanya.
Rugikan Negara Rp 46 M
Catur Prabowo sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif tahun 2018-2020. Proyek fiktif itu diduga merugikan negara miliaran rupiah.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan kasus ini berawal saat Catur Prabowo memerintahkan Direktur Keuangan PT Amarta Karya bernama Trisna Sutisna untuk menyiapkan uang bagi kebutuhan pribadinya. Uang itu diambil dari pembayaran proyek dari PT Amarta Karya.
“Tersangka TS bersama dengan beberapa staf di PT AK Persero kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari PT AK Persero tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya,” kata Alexander di KPK, Jakarta Selatan, Rabu (17/5).
Persekongkolan keduanya lalu memunculkan CV fiktif pada 2018. CV itu digunakan untuk menerima pembayaran dari kegiatan PT Amarta Karya.
Dalam penyidikan, KPK menemukan ada 60 proyek fiktif yang dikerjakan oleh PT Amarta Karya. Uang dari pembayaran proyek fiktif itu lalu digunakan Catur Prabowo dan Trisna Sutisna untuk kepentingan pribadi.
“Uang yang diterima tersangka CP dan tersangka TS kemudian diduga antara lain digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf, dan juga pemberian ke beberapa pihak terkait lainnya,” ujar Alexander.
“Diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp 46 miliar,” sambungnya.
(ial/azh)