Jakarta –
Tempat karaoke keluarga Happy Puppy menggugat kenaikan pajak hiburan yang direncanakan menjadi 40-75 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak Happy Puppy menilai aturan itu melanggar UUD 1945 dan konstitusi.
Happy Puppy menggugat Pasal 58 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menyatakan:
“Khusus tarif PBJT (Pajak Barang dan Hiburan Tertentu-red) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa, ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.”
Happy Puppy meminta pasal itu diubah menjadi:
“Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke namun dikecualikan terhadap karaoke keluarga, kelab malam, bar dan mandi uap/spa, ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.“
Demikianlah bunyi permohonan Happy Puppy sebagaimana tertuang dalam salinan permohonan yang dilansir website MK, Senin (12/2/2024).
Happy Puppy merujuk naskah akademik lahirnya UU 1 Tahun 2022 tang hendak melakukan pengendalian terhadap jasa hiburan karaoke. Namun dengan menyamakan karaoke keluarga dengan kelab malam/bar, dinilai tidak tepat. Oleh sebab itu, Happy Puppy menilai aturan itu menjadi diskriminatif.
“Akan tetapi, tidak dijelaskan alasan pengendalian yang dimaksud sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam penentuan norma tarif pajak,” urainya.
Happy Puppy menceritakan sejarah karaoke sejak 1961, NBCA di Amerika Serikat menyajikan acara hiburan Sing-Along with Mitch, yang menayangkan musik dengan lirik lagu, sehingga penonton di rumah bisa menyanyi bersama. Pada 1970, muncul karaoke di Jepang yang kini mendunia. Karaoke dari bahasa Jepang, kara (karppo), yang berarti kosong dan oke (okesutora), yang berarti orkestra. Kemudian karaoke menjadi bisnis yang mendunia.
“Happy Puppy didirikan 14 November 1992 dengan slogan no hostess, no whisky, no drug, no house music,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Happy Puppy menilai UU 1 Tahun 2022 tidak selaras dengan UUD 1945.
“Dengan berlakukan UU 1 Tahun 2022 tidak menunjukkan adanya asas pengayoman, asas kekeluargaan, asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, asas ketertiban dan asas kepastian hukum, sebagai akibat pengenaan PBJT paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen,” tegasnya.
Permohonan ini sudah didaftarkan di MK dan sedang diproses kepaniteraan.
(asp/dnu)