Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi salah satu alasan perceraian. Tapi bagaimana bila si istri diancam nggak mendapatkan gono gini rumah?
Berikut ini pertanyaan pembaca detik’s Advocate:
Kepada Yth. Bpk/Ibu redaksi detik.com dan Bpk Andi Saputra, SH.
Saya seorang ibu rumah tangga berencana ajukan gugatan cerai ke suami. Saat ini kami masih serumah, namun kami sering bertengkar sampai anak-anak capek melihatnya.
Yang ingin saya tanyakan bagaimana proses pembagian harta gono gini? karena kami memiliki 1 rumah yang kami cicil bersama dan sudah lunas, namun suami juga ada utang di bank yg cukup besar, sedangkan saya tidak punya penghasilan. Saya hanya berharap dari pembagian gono gini dari rumah saya bisa memulai hidup baru dengan anak-anak saya.
Sementara suami juga mengancam tidak mau menjual rumah kami. Sedangkan saya sudah tidak tahan hidup bersamanya.
Alasan gugatan saya mulai dari suami tidak menafkahi saya dengan layak, tapi menuntut selalu ada makanan, dll. Saya dilarang kerja tapi nafkah belanja pun minus. Setiap bulan saya dibantu orang tua dan saudara saya. suami juga tidak menjalankan sholat fardhu dan puasa Ramadhan.
Bagaimana solusinya bila saya ingin bercerai dan mendapatkan pembagian dari harta gono gini bila suami mempersulit?
Atas perhatian dan sarannya saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
A
Untuk menjawabnya, kami minta pendapat hukum advokat Hadiansyah Saputra, S.H. Berikut jawabannya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudari ajukan. Kami ikut merasa prihatin atas permasalahan yang Saudari alami, semoga Saudari segera menemukan jalan keluar dan penyelesaian yang baik atas permasalahan tersebut.
Sehubungan dengan pertanyaan Saudari di atas, perkenankanlah kami untuk memberikan pendapat hukum, sebagai berikut:
1. Mengenai bagaimana proses pembagian harta gono gini akibat adanya perceraian?
Pendapat kami:
Bahwa terminologi istilah “harta gono gini” tidak dikenal di dalam hukum, namun jika kita melihat KBBI kata “gana gini” diartikan sebagai “harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.” Pasal 35 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan”) memberikan pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan, yang dibagi menjadi 2 (dua) jenis, sebagai berikut:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang pada pihak tidak menentukan lain.
Lebih lanjut, Pasal 36 UU Perkawinan memberikan pengaturan:
(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Lalu bagaimana pengaturan mengenai harta bersama akibat perkawinan yang putus karena perceraian? Pasal 37 UU Perkawinan mengatur:
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”
Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing, di dalam Penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Mengenai apa saja yang termasuk harta bersama, Putusan Mahkamah Agung No 1448K/Sip/1974 dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan sebagai berikut:
“Sejak berlakunya UU Perkawinan tentang perkawinan sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadi perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi rata antara mantan suami istri.”
Kembali kepada hukum yang mengatur harta bersama akibat perceraian, mengingat Saudari beragama Islam, maka pengaturan mengenai harta bersama akibat perceraian akan merujuk kepada hukum Islam, dalam hal ini salah satunya diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Menurut Pasal 1 huruf g KHI:
“Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”
Menurut sifatnya, harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban (Pasal 91 ayat 1, 2, dan 3 KHI).
Berdasarkan ketentuan di atas, harta bersama di dalam perkawinan haruslah dimaknai sebagai semua perolehan baik yang bersifat “aktiva”/aset/piutang maupun yang bersifat “pasiva”/kewajiban/utang. Artinya ketika perceraian terjadi maka pada prinsipnya yang akan dibagi rata diantara suami istri tidak hanya aset, simpanan, piutang namun juga juga hutang dan semua kewajiban lainnya. Dengan catatan sepanjang di dalam perkawinan tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta antara suami istri.
2. Mengenai bagaimana solusinya bila saya ingin bercerai dan mendapatkan pembagian dari harta gono gini bila suami mempersulit?
Pendapat kami:
Perceraian adalah suatu keputusan besar dalam hidup yang menurut kami harus dipertimbangkan secara mendalam sebelum memutuskannya dan tentunya Saudari harus menenangkan hati sebelum mengambil keputusan itu agar keputusan yang Saudari ambil tersebut terjadi bukan karena faktor emosional. Namun apabila dirasakan sudah tidak ada jalan lain dan tujuan dari perkawinan dirasakan tidak bisa tercapai jika perkawinan tetap dilanjutkan, semoga keputusan yang akan Saudari ambil dapat membawa kebaikan bagi Saudari, Suami, Anak-anak maupun Keluarga Saudari.
Lalu bagaimana solusinya bila Saudari ingin bercerai dan mendapatkan pembagian dari harta gono gini bila suami mempersulit, seperti tidak mau menjual rumah yang menjadi harta bersama?
Merujuk pada ketentuan Pasal 88 KHI:
“apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 88 KHI, sepanjang pembagian harta bersama tersebut tidak dapat dilakukan secara musyawarah mufakat antara suami dan isteri yang bercerai sehingga terjadi perselisihan maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Demikian jawaban dan pendapat kami, semoga bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan yang Saudari alami.
Terima kasih.
Demikian Pendapat Hukum ini kami berikan sesuai dengan independensi dan profesionalisme kami selaku advokat. Atas perhatian dan kerja sama yang baik, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Hadiansyah Saputra, S.H.
Advokat