Jakarta –
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan total 13 orang tersangka dalam kasus korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 s/d 2022. Kejagung menyebut akan membentuk Satgas sebagai upaya evaluasi dan perbaikan tata kelola dan tata niaga timah.
“Upaya untuk pencegahan tentu saja kami akan selalu mengevaluasi tentang tata niaga dan tata kelola penambangan PT Timah, ini seperti dalam penanganan kasus kelapa sawit, setelah dilakukan penindakan, selanjutnya akan dibentuk satuan tugas,” kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Kuntadi, di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (21/2/2024).
Ia mengatakan pembentukan Satgas tersebut dapat dilakukan usai pengusutan kasus korupsi komoditas timah telah rampung. Kuntadi menyebut pembentukan Satgas pernah dilakukan usai Kejagung selesai mengusut kasus korupsi terkait kelapa sawit.
“Di sini mungkin bisa kita terapkan juga, tapi nanti itu teknis setelah penanganan ini,” kata Kuntadi.
Namun, Kuntadi memastikan Kejagung sampai saat ini masih fokus pada penindakan terkait perkara korupsi komoditas timah di wilayah pertambangan IUP PT Timah.
“Tapi sampai saat ini kita masih fokus penindakan terhadap penyalahgunaan wewenang ini, kata Kuntadi.
2 Tersangka Baru
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 2 orang sebagai tersangka baru kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Kedua tersangka baru tersebut adalah SP selaku Direktur Utama PT RBT dan RA selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Kedua tersangka tersebut langsung ditahan penyidik. Dengan bertambahnya jumlah tersangka tersebut, total tersangka dalam kasus ini menjadi 13 orang, termasuk 1 orang tersangka kasus perintangan penyidikan.
Peran Tersangka
Awalnya pada tahun 2018 diduga SP dan RA sebagai direksi PT RBT telah menginisiasi pertemuan dengan PT Timah yang diwakili MRPT alias RZ selaku Dirut PT Timah dan EE selaku Direktur Keuangan PT Timah (keduanya telah berstatus tersangka). Pertemuan tersebut untuk mengakomodir atau menampung timah hasil penambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Dalam pertemuan itu, Kuntadi mengatakan Tersangka SP dan Tersangka RA menentukan harga untuk disetujui Tersangka MRPT, serta siapa saja yang dapat melaksanakan pekerjaan tersebut.
Usai pertemuan tersebut dibentuk perjanjian kerjasama antara PT Timah dengan PT RBT yang seolah-olah terdapat kegiatan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan PT Timah.
“Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, maka selanjutnya dibuat perjanjian kerjasama antara PT Timah dengan PT RBT yang seolah-olah ada kegiatan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah,” kata Kuntadi.
Lalu Tersangka SP dan Tersangka RA bersama-sama dengan Tersangka MRPT dan Tersangka EE menunjuk perusahaan-perusahaan tertentu sebagai mitra untuk melaksanakan kegiatan tersebut yaitu, PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN.
Selanjutnya untuk memasok kebutuhan biji timah, SP dan Sdr. RA bersama-sama dengan MRPT dan EE menunjuk 7 perusahaan boneka untuk melaksanakan kegiatan ilegal tersebut.
“Untuk memasok kebutuhan biji timah, selanjutnya ditunjuk dan dibentuk 7 perusahaan boneka, yaitu CV BJA, CV RTP, CV BLA,CV BSP, CV SJP, CV BPR, dan CV SMS. Di mana untuk mengelabui kegiatannya, dibuat seolah-olah ada surat perintah kerja (SPK) kegiatan pemborongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP) mineral timah,” ujarnya.
Sementara itu kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(yld/maa)