Angin kencang terjadi di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. BMKG menegaskan bahwa fenomena itu belum termasuk angin tornado.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut angin di Rancaekek yang terjadi pada 21 Februari 2024 lalu itu memiliki kecepatan 65km/jam. Dengan itu, dia menyebut fenomena itu termasuk angin puting beliung.
“Kalau yang kemarin itu kecepatan rata-ratanya belum mencapai 100 Km/jam. Jadi masih jauh. Kemarin rata-ratanya hanya sekitar 65 km/jam. Kalau tornado itu kecepatan minimum 100 km/jam namun tidak menutup kemungkinan bisa meningkat,” kata Dwikorita kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (27/2/2024).
“Alhamdulilah kemarin bisa berhenti cuma 4 menit. Kalau berjalan terus berlangsung karena awan-awannya terlalu banyak, penyebabnya terlalu kuat bisa berlanjut. Didoakan saja semoga tidak terjadi,” sambung Dwikorita.
Lalu, dia juga mengimbau warga untuk berhati-hati jika melihat awan yang gelap. Dwikorita menyarankan masyarakat agar berlindung di bangunan yang kokoh.
“Itu dipicu awan-awan. Karena awan-awannya merata bisa saja berbagai wilayah di Indonesia artinya perlu waspada sehingga kalau kita lihat awannya sudah gelap paling tidak kita mencari perlindungan. Paling aman di dalam bangunan yang kokoh. Jangan di bawah pohon. Antara awan bisa terjadi kilat petir nah kalau di bawah pohon bisa kita terkena atau di luar. Jadi lebih baik berlindung di tempat yang aman di dalam rumah. Dalam gedung yang kokoh,” ujar Dwikorita.
Akibat Lahan Hijau jadi Kawasan Industri
Fenomena puting beliung kencang terjadi di daerah Rancaekek, Bandung, pada 21 Februari lalu. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap fenomena ini disebabkan oleh alih fungsi lahan hijau.
Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengungkap penyebab terjadinya puting beliung kencang ini. Dia menjelaskan Rancaekek merupakan kawasan yang terletak nyaris di tengah-tengah Pulau Jawa bagian barat.
Kawasan ini semula merupakan kawasan hijau, yang ditandai dengan banyaknya pepohonan. Artinya, lingkungannya masih relatif bersih. Kini kawasan ini telah beralih fungsi, yang semula hijau berubah menjadi kawasan industri. Kawasan seperti ini biasanya rawan diterjang pusaran angin.
“Dengan kata lain, terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati kini berubah menjadi hutan beton,” kata Eddy dalam keterangan tertulisnya yang dikutip dari laman resmi BRIN, Jumat (23/2).
Menurut Eddy, industri banyak menghasilkan gas emisi. Gas ini tidak dapat leluasa kembali ke atmosfer akibat efek rumah kaca. Dengan lama penyinaran matahari (LPM) lebih dari 12,1 jam, kawasan ini sangat panas pada siang hari dan relatif dingin pada malam hari.
Lebih lanjut, dia menjelaskan perbedaan suhu antara malam dan siang sangatlah besar. Tanpa disadari, kawasan ini tiba-tiba berubah menjadi kawasan bertekanan rendah. Kondisi seperti ini dimulai sejak 19 Februari 2024.
Proses ini terjadi agak lama, sekitar 24-48 jam. Diawali dengan pembentukan bayi awan-awan cumulus (dikenal sebagai Pre-MCS). Kemudian lambat laut membesar membentuk kumpulan awan-awan cumulonimbus (Cb) yang siap untuk diputar hingga membentuk pusaran besar, dikenal sebagai puting beliung.
“Walaupun mekanisme agak kompleks untuk dijelaskan secara rinci, dugaan kuat pusaran ini terjadi akibat adanya pertemuan dua massa uap air, dari arah barat dan timur, lalu diperkuat dari arah selatan Samudra Indonesia. Ketiganya berkumpul di satu kawasan yang memang telah mengalami degradasi panas yang cukup tajam,” jelas Eddy.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya..