Jakarta –
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan karena tidak beralasan hukum. Kendati demikian, ada 4 hakim MK yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat.
Dilihat detikcom, Kamis (29/2/2024) putusan ini tertuang dalam Nomor 130/PUU-XXI/2023. Uji formil ini diajukan lima organisasi profesi di antaranya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia).
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata MK dalam putusan yang dibacakan, Kamis (29/2/2024).
IDI dkk menilai UU Kesehatan cacat formil karena perencanaan, pembahasan, dan pembentukannya tidak memenuhi syarat formil adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna atau meaningful participation. IDI dkk juga menyebut terjadinya tindakan penghambatan partisipasi dalam pembahasan RUU Kesehatan yang menciderai demokrasi konstitusional.
“Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa UU 17/2023 cacat formil karena perencanaan, pembahasan, dan pembentukannya tidak memenuhi syarat formil adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dan terjadi tindakan penghambatan partisipasi dalam pembahasan RUU Kesehatan yang menciderai demokrasi konstitusional,” demikian permohonan IDI Dkk.
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 November 2021, MK mengabulkan permohonan pengujian formil sebuah undang-undang.
Menurut MK, dengan pertimbangan salah satunya karena partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU Ciptaker dinilai oleh mahkamah tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
“Mahkamah dalam putusan a quo menegaskan bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas (vide Sub-paragraf [3.17.8] halaman 393, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020),” kata MK.
Terkait prinsip partisipasi yang bermakna tersebut, MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 2 Oktober 2023, yang amar putusan a quo menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Menurut MK, pihaknya merekomendasikan kepada pembentuk undang-undang untuk mendorong mengembangkan sistem informasi pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik (online) dalam rangka memenuhi prinsip partisipasi yang bermakna.
“Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon perihal UU 17/2023 cacat formil karena dalam landasan yuridis tidak mempertimbangkan putusan-putusan Mahkamah dalam Naskah Akademis dan Naskah RUU Kesehatan, sehingga tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata MK.
Sementara itu ada empat hakim yang menyatakan dissenting opinion. Empat hakim tersebut yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Ridwan Mansyur.
(whn/rfs)