Jakarta –
Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mencatat peningkatan kasus demam berdarah (DBD) di Ibu Kota. Hingga 19 Februari, sebanyak 627 kasus DBD dilaporkan.
“Saat ini sudah masuk minggu ke-9, data kasus menunjukkan peningkatan yang tajam mulai minggu ke-5, yaitu di awal bulan Februari,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati melalui keterangan tertulis, Jumat (1/3/2024).
Dari 627 kasus, sebanyak 34 kasus DBD di wilayah Jakarta Pusat, 74 kasus di Jakarta Utara, 208 kasus di Jakarta Barat, 145 kasus di Jakarta Selatan, 161 kasus di Jakarta Timur dan 5 kasus di Kepulauan Seribu. Sejauh ini, belum ada kematian kasus DBD yang ditemukan.
“Kami terus memantau perkembangan kasus DBD di setiap wilayah Jakarta. Sejauh ini, tidak tercatat kematian atas kasus tersebut,” jelasnya.
Ani menyebut index rasio kasus DBD saat ini mencapai 5,57/100 ribu penduduk. Meski begitu, Ani menyebut kenaikannya masih dibawah kasus tahun 2023 lalu.
“Kami mengimbau warga waspada dan menerapkan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) 3M (Menguras, Menutup, Mendaur Ulang) Plus (kegiatan lain yang mencegah perkembangbiakan dan gigitan nyamuk Aedes aegypti),” ujarnya.
Gejala DBD
Kemudian, Ani menyampaikan gejala yang dirasakan penderita apabila tertular DBD, yaitu ditandai dengan demam 2-7 hari yang disertai manifestasi pendarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya hemakonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit, asitesis, efusi pleura, hipoalbuminemia), serta beberapa gejala lainnya, seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata.
“Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD berat. Ada yang hanya demam ringan yang akan sembuh dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit (asimtomatik). Sebagian lagi menderita demam dengue saja yang tidak menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian,” terangnya.
Ani menambahkan, kelembaban yang tinggi dan meningkatnya curah hujan berpotensi pada peningkatan vektor penular DBD, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Sehingga, perlu adanya upaya pengendalian vektor DBD secara masif dengan melibatkan peran serta seluruh aspek masyarakat pada tujuh tatanan, yakni permukiman, perkantoran, institusi pendidikan, tempat-tempat umum, tempat pengelolaan makanan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan fasilitas olahraga.
Ani pun telah menginstruksikan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Jakarta untuk dapat melakukan deteksi dini dan tata laksana kasus DBD sesuai standar, serta menyiapkan ketersediaan ruang rawat dan logistik untuk perawatan pasien. “Seluruh fasilitas kesehatan di Jakarta siap melayani masyarakat jika tertular DBD,” ucapnya.
Adapun program Pengendalian Vektor DBD dilaksanakan dengan cara melakukan peningkatan PSN 3M Plus, meningkatkan pemantauan jentik oleh juru pemantau jentik (jumantik) dengan menambahkan frekuensi pemantauan menjadi dua kali dalam seminggu.
Kemudian peningkatan peran jumantik cilik/jumantik sekolah dalam kegiatan PSN, baik di sekolah maupun tempat tinggalnya, pemutusan mata rantai penularan dengan fogging yang fokus pada kasus DBD dengan hasil penyelidikan epidemiologi (PE) positif, peningkatan kerja sama lintas sektoral, khususnya pengelola gedung pada tujuh tatanan (permukiman, perkantoran, institusi pendidikan, tempat-tempat umum, tempat pengelolaan makanan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan fasilitas olahraga).
(taa/azh)