JAKARTA – Calon Wakil Presiden (Cawapres) Mahfud MD menegaskan, Ketua Umum (Ketum) PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri semangat menggulirkan hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, untuk mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Mahfud menyebut, berdasarkan rapat para ketua umum partai politik (parpol) pendukung paslon nomor 03, pada 15 Februari 2024, disepakati untuk mendukung hak angket guna mengoreksi pemilu yang dinilai tidak benar.
Saat itu, bukan hanya Megawati yang semangat dan setuju hak angket digulirkan, juga Plt Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono.
Rapat yang juga dihadiri Ketum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) dan Ketum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjio, menghasilkan keputusan mengoreksi Pemilu 2024 dengan tiga cara.
Pertama, melalui jalur hukum di Mahkamah Konstitusi (MK), dalam hal ini pihak yang didugat adalah penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kedua, jalur politik dengan menggulirkan hak angket di DPR oleh parpol pendukung paslon nomor 03. Ketiga, tekanan publik dan opini masyarakat.
“Saya belum bisa mengatakan seberapa besar harapan menegakkan demokrasi melalui hak angket, karena keputusan hak angket tergantung pada yang banyak. Politik mencari menang, menang itu tergantung manuver, beda dengan hukum mencari benar dan pedomannya jelas tinggal hakimnya berani atau tidak. Apakah hakimnya terintervensi atau tidak secara politik. Tetapi menurut saya, seberapa besar pun peluangnya harus dilakukan,” ujar Mahfud, mengutip kanal Youtube Bachtiar Nasir, pada Kamis (7/3/2024).
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di
ORION, daftar sekarang dengan
klik disini
dan nantikan kejutan menarik lainnya
Lebih lanjut, Mahfud menuturkan bahwa parpol pendukung dan Ganjar Pranowo, yakni PDI Perjuangan dan PPP mendukung hak angket.
Selain itu, parpol pendukung paslon nomor 01 yakni PKS, Partao NasDem dan PKB juga mendukung hak angket, dan menunggu PDI Perjuangan sebagai motor penggerak.
Mantan Ketua MK itu menuturkan, tujuan hak angket bukan untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, melainkan untuk mengeluarkan rekomendasi apakah terjadi pelanggaran undang-undang (UU).
Ada tiga UU yang akan disandingkan dengan dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, yakni UU tentang APBN dan UU tentang Keuangan Negara terkait anggaran bantuan sosial (bansos).
Menurut mantan Menko Polhukam itu, anggaran bansos tahun 2023 berakhir pada November, tapi diperpanjang tanpa mengubah APBN. Kemudian, pada tahun 2024 jumlah bansos naik dan dibayarkan kepada penerima pada Januari dan Februari menjelang pemilu.
“Padahal UU untuk tahun 2024 itu baru disahkan 16 Oktober 2023, harus menunggu perubahan APBN, padahal dipaksakan dibagikan. Ini pelanggaran undang-undang,” jelasnya.
Kemudian, menurut UU Kuangan Negara jika terjadi perubahan anggaran, maka harus melalui mekanisme dan sepersetujuan DPR. Selain itu, hak angket akan menyelidiki adakah pelanggaran UU KKN, misalnya apakah penggunaan keuangan negara atau suatu kebijakan menguntungkan salah satu pihak.
“Ini teorinya, saya tidak tahu operasi politik di lapangan. Tetap tekanan publik, masyarakat bisa mempengaruhi angket,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Mahfud menyebut bahwa hampir tidak mungkin untuk memakzulkan Jokowi melalui hak angket untuk saat ini, karena masa pemerintahan berakhir pada 20 Oktober 2024.
Dikatakan, hak angket paling cepat 3 bulan, kalau rekomendasi berujung pada pemakzulan presiden, maka perlu sidang DPR lagi, bukan angket. Sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan 2/3 dari yang hadir harus setuju pemakzulan. Setelah itu, disidangkan di MK.
“Itu peru berbulan bulan, Oktober tidak akan selesai,” katanya.
Mahfud mengatakan jika terjadi pelagggaran UU, maka akan ada rekomendasi. Bisa saja rekomendasi berupa pemakzulan atau ditindaklanjuti secara hukum.
Jika rekomendasi ditindaklanjuti secara hukum, maka tidak perlu lagi DPR bersideng, tetapi diserahkan ke Kejaksaan Agung.
“Walaupun masa pemerintahan telah berakhir, presiden bisa dibawa ke pengadilan seperti Presiden Soeharto dibawa ke pengadilan, tapi karena sakit permanen, maka kasusnya ditutup. Jadi bukan tidak ada guna hak angket,” pungkas Mahfud.