Jakarta –
Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus aturan soal Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) minimal 40% dan maksimal 75%. Besaran persentase pajak tersebut dinilai bisa mematikan usaha hiburan.
“Kalau dari aspirasi yang disampaikan kepada kami, penetapan pajak hiburan tertentu minimal 40%-75% sudah pasti akan membuat pelaku usaha bangkrut. Pajak hiburan 40-75% tersebut ternyata dari penghasilan kotor. Lalu pengusaha juga kena lagi pajak penghasilan. Dengan beban tersebut sudah pasti akan mematikan pelaku usaha hiburan tertentu ini,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda kepada wartawan, Sabtu (16/3/2024).
Komisi X adalah komisi di DPR yang membidangi sejumlah masalah, salah satunya adalah kepariwisataan. Syaiful Huda menjelaskan, yang harus diingat usaha hiburan tertentu mempunyai rantai panjang yang melibatkan masyarakat kecil. Mulai dari rantai penyediaan konsumsi, transportasi, hingga pegawai tempat usaha hiburan tertentu. Menurut Huda, jika investor terpaksa menutup tempat usaha mereka karena merugi tentu imbasnya akan ke masyarakat.
“Kami menilai untuk pajak hiburan tertentu ini dikembalikan ke aturan yang lama di mana tidak ada batas minimal tetapi ada batas maksimal hingga 75%,” terangnya.
Pemda maupun pemerintah, kata Huda, harus ketat terkait perizinan untuk memastikan usaha hiburan tertentu ini memang didirikan di tempat-tempat yang sudah seharusnya, seperti kawasan pariwisata maupun hotel-hotel kelas atas yang melayani turis asing.
“Gugatan uji materi tentang Pasal 58 ayat 2 UU 1/2022 merupakan langkah elegan dari pelaku industri hiburan untuk memastikan kesinambungan usaha mereka. Uji materi tersebut jauh lebih baik daripada aksi-aksi jalanan yang bisa merugikan banyak kalangan,” ucap Huda.
Ajukan Gugatan
GIPI mengajukan gugatan terhadap aturan soal Pajak Barang dan Jasa Tertentu minimal 40% dan maksimal 75% dihapus. GIPI meminta tarif PBJT paling tinggi 10%.
Hal ini disampaikan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar Kamis (14/3/2024). Gugatan GIPI itu terdaftar dengan nomor perkara 32/PUU-XXII/2024.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan pasal Pasal 58 ayat (2) UU 1/2022 yang berbunyi ‘Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Joni, berharap PBJT 10% sebagaimana ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU Hubungan Keuangan Antara Pusat dengan Daerah.
“Permohonan ini adalah mengharapkan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dihapuskan dan dengan demikian diberlakukan ketentuan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022,” ujar Muhammad Joni dalam sidang perbaikan permohonan sebagaimana dikutip dari situs MK, Jumat (15/3).
(isa/dnu)