Depok –
Sembari membuat gagang golok, di teras rumahnya, Matrojih kembali mengingat bagaimana ia bisa menjadi seorang pengrajin golok. Meski ia tak lahir dan tumbuh dari keluarga seniman.
Sudah 38 tahun pria yang akrab disapa Ojih ini mengabdikan hidupnya sebagai seorang pengrajin golok. Dari mulut ke mulut pun, ia tenar sebagai pengrajin golok di beberapa daerah. Terakhir, namanya dikenal karena membuat golok raksasa yang ia beri nama Si Rajut. Golok ini merupakan ikon kesenian betawi yang diabadikan di Museum Setu Babakan, Jakarta Selatan.
Bagi Ojih, golok bukan hanya sebuah senjata biasa. Lebih dari itu, golok juga merupakan sebuah simbol budaya betawi yang harus dilestarikan. Lahir sebagai putra betawi mendorong dirinya untuk terus mempertahankan eksistensi kerajinan golok.
Pria kelahiran tahun 1969 ini mengungkapkan, dirinya sempat mendapatkan tentangan dari keluarga saat hendak menekuni kesenian golok. Namun, berbekal keyakinan, Oji percaya bahwa menjadi pengrajin golok adalah jalan hidupnya.
“Ada pro kontra juga. Jadi mereka (keluarga), antara setuju dan nggak setuju. Kan apa sih hasilnya kalau golok itu? Atau bisa nggak menghidupi keluarga? Gitu. Jadi ya kita, karena memang dasarnya seni, ya akhirnya tiap hari saya (melakukan) pembuatan golok,” jelas Ojih di program Sosok detikcom.
Ojih juga menuturkan, kedua orang tuanya bukanlah seorang seniman maupun budayawan Betawi. Dari delapan saudaranya, hanya Ojih yang memilih jalan hidup menjadi seorang seniman. Sedangkan saudara-saudaranya berprofesi sebagai karyawan atau pekerja biasa.
Meski tak mewarisi darah seniman, Ojih tetap tekun belajar membuat golok secara otodidak. Di sisi lain, meski orang tuanya bukan seniman golok, mereka kerap memberi masukan pada Ojih terkait sisi artistik golok.
“Nggak ada khusus saya belajar (golok) ke salah satu tempat. Sebenarnya saya belajar (golok) itu ya otodidak. Hanya, orang tua kalau kita buat golok, misalnya kayak bikin gagang, itu bagusnya seperti apa, dia cuman ngasih tau. Nah beliau (orang tua) juga nggak bisa, cuma dia bisa menilai kerjaan orang tuh bagusnya seperti apa,” ungkap Ojih.
Minat Ojih pada kerajinan golok bermula saat ia bergabung pada sebuah sanggar budaya Betawi. Ojih mengenang, sanggar itu memperkenalkan budaya Betawi lewat berbagai kegiatan. Membuat kerajinan golok merupakan salah satunya.
Hasrat Ojih untuk melestarikan kesenian betawi terus menyalak. Ia amat berharap anak muda terutama putra-putra Depok, tempat dirinya tinggal saat ini, dapat mempelajari kesenian Betawi ini darinya.
“Saya sendiri mengharapkan ada beberapa orang yang ingin belajar membuat (golok). Saya dengan senang hati, dengan bangga, kalau mereka (warga Depok) atau putra-putra Betawi pengen belajar bikin golok, (saya) support banget ke mereka. Tanpa biaya apapun, saya bikin gratis, dan alat semua saya siapkan. Dalam artian, ayo kita bangun budaya kita. Jadi, jangan ngebangun budaya orang lain,” jelas Ojih.
Ojih kembali menuturkan, penghasilannya dari menjadi seorang pengrajin golok tidaklah menentu. Namun, karena profesi ini pula Ojih dapat dengan bangga mengantarkan anak sulungnya menjadi seorang guru. Kini, ia menaruh harapan pada anak bungsunya yang masih berusia 11 tahun untuk melanjutkan jiwa seniman Betawi.
“Sebenarnya, saya pengen banget untuk pembuatan, minimal banget, putra saya bisa. Tapi, sampai saat ini belum bisa. Cuma, dia bisa menjalani jurus golok sama silat Betawi yang dia udah pelajari. Ya Alhamdulillah bangga. Karena saya sendiri pembuat golok, masa putranya nggak,” pungkas Ojih.
Ribuan golok sudah ia tempa bilahnya. Kini, Ojih tak hanya menerima pesanan untuk membuat golok saja, melainkan juga pesanan untuk membuat suvenir dan aksesoris seperti korek dan pipa rokok berbentuk keris dan golok.
(sss/nel)