Jakarta –
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jambi (FH Unja), berinisial RM, membagikan pengalaman getirnya menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus kerja magang ke Jerman lewat program Ferienjob. RM menyebut hidupnya luntang-lantung sejak awal ketibaan di Jerman, dan usai pulang ke Tanah Air pada 30 Desember, dia malah terlilit utang.
Janji upah kerja puluhan juta hanya isapan jempol belaka. RM mengaku agen yang menyalurkannya untuk Ferienjob di Jerman tidak memberinya pekerjaan yang jelas.
“Sebelum berangkat, saya sudah tanya ke contact person di flyer Ferienjob soal akomodasi, transportasi dan makan selama di Jerman bagaimana. Katanya gratis. Saya cuma harus siapin paspor dan visa. Pas sudah berjalan proses rekrutmen, kami diberi tahu nanti ada yang bantu dana talangan, yang katanya nanti pasti ketutup dengan gaji di Jerman,” kata RM kepada detikcom, Rabu (27/3/2024).
Perempuan berusia 22 tahun ini mengaku berangkat pada 11 Oktober 2023 karena agen menjanjikan sudah ada pekerjaan yang menunggunya di Jerman. Sesampainya di Jerman, dia menganggur karena pihak agensi mengatakan belum ada lowongan pekerjaan yang tersedia.
“Nganggur di hotel itu dari tanggal 11 sampai 30 Oktober. Nah direntang waktu itu berpindah-pindah tempat tinggal, 4 sampai 5 kali antarkota yang jauh. Kadang ditempatin di hotel, kadang di apartemen. Makannya ya pakai apa yang ada, saya bawa mie instan, roti dari Indonesia, bawa itupun bertahan seminggu. Pernah dijanjikan uang makan 3 Euro per orang, itu juga dikasihnya cuma dua kali,” tutur dia.
Agen Ferienjob di Jerman yang menampung RM dan teman-teman dari universitasnya adalah Brisk United GmbH. Sementara agen penyalurnya dari Indonesia ke Jerman adalah PT CVGen dan PT SHB.
Dalam rentang waktu tersebut RM dan teman-temannya merasa diterlantarkan dan hanya bisa menunggu informasi dari seorang pria Jerman yang merupakan perwakilan agensi Brisk United GmbH. Lalu pada hari terakhir di Oktober 2023, barulah RM mendapatkan kerja sebagai buruh di perusahaan logistik.
“Kita datang ke kantor Brisk hanya dikasih waktu 30 menit dari tempat tinggal, sampai tergesa-gesa dan hampir telat. Lalu pas sampai, kita langsung disodori kontrak kerja dalam Bahasa Jerman dan disuruh cepat-cepat tanda tangan karena alasan harus pindah tempat tinggal lagi. Mau Google Translate (isi kontrak kerja-red) pun nggak bisa karena lama nganggur, uang sudah habis, nggak bisa beli paket internet, nggak ada Wifi, nggak ada pilihan lain lagi,” ujar dia.
RM lalu mengaku lega karena dia akhirnya bisa bekerja, meski sebagai kuli angkut barang di perusahaan ID Logistic. Upahnya 13 Euro per jam, dan dibayar lewat agensi Brisk United GmbH. RM mengatakan saat itu dia memikirkan bagaimana membayar utang pengurusan paspor, visa, working permit kepada PT SHB sebesar Rp 350 Euro dan utang tiket pesawat Jakarta-Jerman pulang-pergi Rp 24,8 juta.
“31 Oktober 2023 mulai kerja di ID Logistic, Kota Kaiserslautern sebagai pick tower, bertugas ambil barang dari ra dari yang tinggi banget sampai yang rendah, masukkan ke dalam troli, dikirimkan ke lantai 1, liftnya cuma untuk barang, kitanya turun-naik pakai tangga darurat jadi harus pakai full tenaga 100 persen. Kerjanya 8 sampai 10 jam, liburnya dua hari seminggu,” ucap RM.
“Sekilas aku dengar upah per jamnya itu 15 Euro. Tapi Brisk kasih kita 13 Euro, padahal kita dikenain biaya akomodasi per hari 20 Euro terhitung sejak kita sampai di Jerman. Pasrah saja, nggak ada pilihan, karena kalau banyak omong nanti khawatir dipecat. Dan kita sering dapat sif sore yang pulangnya tengah malam, mau nggak mau harus keluar uang untuk biaya taksi. Harusnya yang tanggung jawab untuk transportasi Brisk, tapi ini kita keluar uang sendiri,” imbuh dia.
RM lalu menuturkan baru sebulan lebih satu hari, dirinya mendapatkan kabar pemecatan dengan alasan dirinya tak dapat memenuhi target produktivitas. Dia menilai alasan pemecatan pun tidak jelas, karena pihak ID Logistic memuji kinerjanya dan rekan-rekan mahasiswa WNI lainnya.
“28 November kita dikasih surat pemutusan kontrak kerja oleh Brisk, dan saya sudah tidak bisa lagi bekerja di ID Logistic mulai 2 Desember. Awalnya Brisk bilang kita nggak bisa penuhi target kerja. Saat kita bilang alasannya berlawanan dengan pujian ID Logistic ke kita, Brisk rubah alasannya lagi. Akhirnya kita nganggur lagi,” cerita RM.
“6 Desember kita ditelepon Brisk, dipaksa tanda tangan dengan iming-iming biar gaji di November akan lebih cepat keluar, tanggal 15 Desember dan bonus-bonus akan keluar sebelum Natal. Akhirnya kita tahu itu pemutusan kontrak kerja dengan Brisk, dan pulang ke Indonesia dengan biaya reschedule tiket ditanggung mereka maksimal 200 Euro, atau tetap stay di Jerman dengan status karyawan tapi Brisk nggak akan carikan pekerjaan dan kita nggak boleh tinggal di akomodasi Brisk lagi tanggal 10 Desember. Itu kita dikasih waktu berpikir lagi-lagi hanya 30 menit,” ungkap dia.
RM menuturkan upah kerjanya periode November tersebut hanya tersisa Rp 1 juta, karena langsung dipotong agensi yang menalanginya biaya tempat tinggal dan tiket pesawat, transportasi dan makan sehari-hari.
“Pada 8 Desember, Brisk memberi informasi lowongan untuk kerja tanggal 11 Desember di bidang pertanian, via email. Tapi Brisk garisbawahi transportasi dan akomodasi dibebankan ke kami. Pekerjaannya sangat mencurigakan karena di perbatasan Jerman-Denmark, dan kalau bilang di bidang pertanian, saat itu kan musim salju. Akhirnya ada dua perwakilan teman mahasiswa yang ngecek dulu lah pekerjaannya seperti apa. Yang mengejutkan pertanian tersebut milik keluarga pemilik RAC, Anna, agensi di Jerman yang juga kerja sama dengan PT SHB,” jelas RM.
“Karena kayanya kita dikerjain, kita nggak datang ke pertanian itu tanggal 11. Brisk kasih surat peringatan pemutusan kontark kerja karena saya nggak datang tanggal 11. Tanggal 15 Desember kita disuruh tanda tangan lagi kontrak kerja, kerja tanggal 19 Desember di pabrik buah di Hanover. Hari pertama Brisk sediakan transportasi taksi, tapi itu jaraknya jauh banget 2,5 atau 3,5 jam perjalanan. Biaya taksinya pulang-pergi sekitar Rp 2 juta, dan itu kita harus ganti dari potong gaji lagi,” jelas RM.
RM pun ditempatkan di ruangan dengan suhu sangat dingin, dan diharuskan berdiri selama 11 jam untuk sortir buah. Di hari kedua, RM menyebut Brisk kembali hilang kabar dan tak memberikan fasilitas transportasi sehingga RM dan kawannya berjalan selama 1,5 jam dalam kondisi suhu 4 derajat celcius, hujan, dan kondisi gelap karena di pedalaman, sampai akhirnya sampai stasiun kereta untuk pulang.
“Karena belum diberi gaji, bekal yang kami bawa hari itu hanya roti selembar dan satu kentang. Besoknya kami kembali kerja, dan pulang kerja sudah diancam diusir dari apartemen karena ternyata Brisk tidak talangi apartemen kita hari itu. Di malam yang sama saya dapat pesan kalau pabrik buah itu nggak butuh lagi pekerja. Akhirnya kami dipindahkan ke Frankfurt. Di hari yang sama aku dapat slip gaji, dari total 2.200 Euro atau Rp 37 juta, saya cuma dapat Rp 7 juta. Kalau dipotong lagi dengan biaya keberangkatan dan lain-lain sisa Rp 1 juta saja,” kata RM.
“Tanggal 23 saya dipindahkan lagi di Bremen. Di apartemen tersebut ada tiga kamar, dan masing-masing kamar tanpa kunci, dan kami dicampur dengan warga negara asing laki-laki dan perempuan. Tim saya tersisa tiga orang waktu itu karena sudah terpisah-pisah. Kami nganggur lagi, dan tanggal 27 dan 28 saya dapat pekerjaan lagi tanpa kontrak kerja, disuruh datang ke kantor RAC, dan ketemu lagi sama yang punya lahan pertanian, Anna. Dan kami dinaikkan dalam mobil, nggak tahu mau dibawa ke mana. Ternyata kami dibawa ke apartemen pribadinya Anna” lanjut RM.
RM mengaku kaget bercampur sedih karena dia dijadikan kuli bangunan untuk merenovasi apartemen bos agensi RAC tersebut. RM pun melakoni pekerjaan mengelupas cat dinding, wallpaper, membongkar lantai kayu, dan membuang material dari lantai tiga ke lantai satu. RM mengaku tak diupah untuk pekerjaan terakhirnya di apartemen pribadi milik bos agensi tersebut hingga akhirnya dia pulang kembali ke Indonesia pada 30 Desember karena program masa Ferienjob-nya brakhir.
“Sampai di sini dikasih somasi sama agen di sini untuk segera bayar utang saya Rp 7 jutaan, ditagihin tiap hari. Tapi sudah dua mingguan ini nggak ditagihin lagi, mungkin karena kasusnya sudah jadi atensi,” pungkas dia.
(aud/fas)