Jakarta –
RM (22), mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi (Unja) menceritakan proses rekrutmen peserta Ferienjob ke Jerman di kampusnya, yang ternyata modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). RM kala itu mengaku mendapat sosialisasi bahwa saat mengikuti Ferienjob, pekerjaan yang akan dilakukan tak berkaitan dengan program studi.
Dia diberikan informasi pekerjaannya di Jerman hanya sekadar bantu-bantu saja. RM kemudian mengaku kemampuan berbahasa asingnya terbatas.
“Saya paling ingat ada statement bahwa saking mudahnya, anak TK juga bisa ngerjain. Saya pikir pekerjaannya santai. Kemarin di Unja itu cuma disyaratkan bisa berbahasa Inggris, dan dari agensi juga menekankan yang penting bisa ‘yes‘, ‘no‘ sudah cukup, tidak perlu bisa Bahasa Jerman. Ya sudah saya percaya diri, Bahasa Inggrisku juga pasif,” ungkap RM kepada detikcom, Kamis (28/3/2024).
Dia mengatakan di awal Mei 2023 tersiar brosur elektronik program tersebut. Sementara dia pergi ke Jerman untuk melaksanakan Ferienjob sejak 11 hingga 30 Desember.
“Pelaksanaannya (Ferienjob ke Jerman-red) di Bulan Oktober sampai Desember. Tapi pendaftarannya di kampus saya sendiri itu dimulai di akhir April dan akhir Mei 2023 sudah ditutup,” kata RM.
Dia pun antusias karena awalnya menilai kerja di Jerman adalah hal menyenangkan. Ditambah iming-iming gaji yang menyentuh besaran puluhan juta rupiah.
“(Tahu Ferienjob) dari kampus, disebar flyer-nya, di sosial media promosinya, dan saya mendaftar dari situ, tahunya dari Unja. Contact person-nya dua, salah satunya atas nama Yulia. Motivasi ikutan Ferienjob karena memang negara partner-nya Jerman, dan aku pikir ini negara yang ‘wah’. Lalu aku merasa aman awalnya karena ini sudah diklaim oleh Unja selaras dengan MBKM dan bisa masukkan recognize kegiatan di 20 SKS. Dan selanjutnya tentu iming-iming gaji, yang Unja itu nulisnya ada 20 sampai 30 juta rupiah perbulan,” jelas RM.
RM lalu mendaftar dengan men-scan barcode yang terpampang di brosur elektronik. Barcode itu menjadi jalan masuk RM ke Google Form yang harus diisinya sebagai syarat pendaftaran magang ke Jerman lewat program Ferienjob.
“Waktu itu sudah ada Google Form yang ditampilkan di flyer, jadi kita tinggal scan barcode dan daftar di situ. Di universitas, itu sudah langsung kita dikasih link grup, langsung bergabung di situ, dan di pihak Unja, mereka melakukan seleksi harusnya sebanyak dua kali, pertama tes psikologi dan kedua tes bahasa. Tapi tes bahasanya, tapi nggak jadi dilakuin. Jadi patokan lolos seleksi di tahap universitas. Setelah itu saya mendaftar ke PT. CVGen, agen. Saya waktu daftar semester 8, sudah akhir,” cerita RM.
Dia menuturkan admin grup WhatsApp tersebut di antaranya pejabat di Fakultas Hubungan Internasional Unja. Ada juga dosen Bahasa Inggris.
“Dokumen penting untuk mendapatkan kontrak kerja, izin kerja dari Jerman, kita waktu itu mengurus di kampus. Ada surat keterangan libur, surat keterangan aktif kuliah, dan dimatrikulasi. Dan dokumen tambahan lain seperti rekening koran, pas foto, KK terjemahan,” terang RM.
Usai mendaftar di PT CVGen, ada satu agensi penyalur tenaga kerja lagi yang membantu RM mendapatkan visa terbang ke Jerman, yakni PT SHB. RM pun mendapatkan visanya dalam waktu 9 sampai 10 hari kerja setelah pengajuan.
“Di kedutaan saya kurang paham pengurusan izin ke Jermannya, rekening koran pun pun saldo di bank cuma saldo anak kuliahan, padahal visa yang diajukan perjalanan bisnis. Visanya rilis di 9, 10 hari kerja setelah diajukan, itu sangat cepat. Tapi secara logika sepertinya ada intervensi dari agen PT SHB untuk mempercepat visanya,” beber RM.
Sebelumnya diberitakan, RM membagikan pengalaman getirnya menjadi korban TPPO modus Ferienjob ke Jerman. RM menyebut hidupnya luntang-lantung sejak awal ketibaan di Jerman, dan usai pulang ke Tanah Air pada 30 Desember, dia malah terlilit utang.
Janji upah kerja puluhan juta hanya isapan jempol belaka. RM mengaku agen yang menyalurkannya untuk Ferienjob di Jerman tidak memberinya pekerjaan yang jelas.
Perempuan berusia 22 tahun ini mengaku berangkat pada 11 Oktober 2023 karena agen menjanjikan sudah ada pekerjaan yang menunggunya di Jerman. Sesampainya di Jerman, dia menganggur karena pihak agensi mengatakan belum ada lowongan pekerjaan yang tersedia.
Agen Ferienjob di Jerman yang menampung RM dan teman-teman dari universitasnya adalah Brisk United GmbH. Sementara agen penyalurnya dari Indonesia ke Jerman adalah PT CVGen dan PT SHB.
Setelah mendapat penempatan bekerja di akhir Oktober 2023, RM pun dijadikan buruh baik di perusahaan logistik. Kemudian Desember 2023 awal, dia dipecat tanpa kejelasan. Lalu di pertengahan Desember 2023, dia dipekerjakan kembali sebagai tenaga sortir di pabrik buah, dan itu hanya berlangsung dia hari.
Agen Brisk United GmbH lalu membiarkannya menganggur, sementara terus menjerat RM dengan biaya akomodasi selama di Jerman yang dihitung tiap harinya. Sampai pada 27 Desember 2023, RM dibawa oleh bos agensi RAC (agensi penyalur tenaga kerja di Jerman), Anna, untuk jadi kuli bangunan di apartemen pribadinya selama dua hari.
RM mengaku bebannya tak hanya berpindah-pindah kerja dan tempat tinggal, tetapi juga dijerat utang modus dana talangan dari agen penyalur mahasiswa magang baik di Indonesia maupun di Jerman. RM mengatakan pihak agensi mengenakan biaya pengurusan paspor, visa, working permit kepada PT SHB sebesar 350 Euro, dan utang tiket pesawat Jakarta-Jerman pulang-pergi Rp 24,8 juta.
Tak hanya itu, agensi di Jerman juga mengetok biaya akomodasi para korban dengan besaran nilai yang ditentukan sepihak. Potongan dana talangan dan akomodasi mahasiswa hanya mendapat 20 persen dari upah yang seharusnya didapat. Akhirnya pada 30 Desember, RM dipulangkan ke Indonesia karena masa Ferienjob-nya habis.
Sampai di Indonesia, dia pun merasa diteror hingga dikirimi somasi oleh PT SHB, yang mendesak RM untuk melunasi sisa utang tiket pesawat pulang ke Indonesia.
(aud/fjp)