Jakarta –
Niat hati memiliki apartemen, tapi malah mangkrak. Apesnya lagi, bank masih terus menagih cicilan terhadap konsumen. Alhasil konsumen ibarat sudah jatuh, malah tertimpa tangga. Lalu, apa solusinya?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate, yaitu:
Selamat pagi detik’s Advocate
Semoga kita sehat selalu.
Perkenalkan nama saya Tommy Wardana, tinggal di Jakarta.
Melalui email ini saya ingin bertanya, menyetop tagihan terus menerus ditagih oleh pihak bank untuk Kredit Kepemilikan Apartmen (KPA) bank yang pembangunan apartmennya mangkrak.
Pada tanggal 31 Juli 2015, saya melakukan pembelian apartemen di Kota Bekasi dengan developer senilai Rp 577.765.000. Di mana pembayarannya melalui hard keras sejumlah Rp 247.765.000 dan di Juli 2018 kami ubah pembayarannya melalui KPA salah satu BUMN sejumlah sisa tagihan.
Pembangunan apartemen terhenti sejak awal 2019.
Uang yang telah dibayarkan ke developer melalui hard keras Rp 247.765.000 dan cicilan pembayaran ke bank sudah dibayarkan sebanyak 34 kali atau sejumlah Rp 165.581.500 sampai dengan Juli 2021 dan tersisa 62 angsuran terutang yang akan berakhir Agustus 2026.
Kami sudah melakukan niat baik dengan membayarkan cicilan sampai dengan bulan Juli 2021 kepada pihak bank, kami memutuskan untuk tidak meneruskan pembayaran cicilan karena dari tahun 2018 sampai Juli 2021, tidak ada progres pembangunan apartemen.
Sudah berulang kali datang ke bank (selalu diping-pong dan tidak membuahkan hasil) dan melakukan koresponden (yang tidak ada tanggapan tertulis atau penyelesaiannya) untuk mengurus agar cicilan pembayaran disetop agar tidak terus menerus ditagihkan tetapi tidak ada respons tertulis.
Sampai-sampai diberikan SP 3 oleh pihak bank. Dan setelah kami surati ke pimpinan cabang, baru tidak ditagih dan kembali dan ditagihkan di tahun berikutnya. Karena masa restrukturisasi kredit kami berakhir dan setiap tahun hanya melakukan restrukturisasi Kredit terus menerus.
Di surat terakhir bulan Maret 2023, kami membuatkan surat kepada yang di dalamnya kami sudah tidak sanggup bayar kembali dan bersedia untuk menyerahkan unit apartemen kepada pihak bank untuk disita lalu dilelang karena kami tidak mau terus menerus dilakukan restrukturisasi kredit. Mengingat 3 tahun lagi istri memasuki usia pensiun dan kami tidak akan memiliki pendapatan. Sedangkan saya sudah tidak bekerja sejak tahun 2018.
Pertengahan Maret ini, istri mendapatkan WA kembali dari bank bahwa masa restrukturisasi kredit sudah berakhir dan agar dilakukan pembayaran apabila tidak mau kena denda dan masuk daftar black list BI.
Pertanyaan saya,
1. Bagaimana cara menghadapi bank sampai tuntas yang tidak memberikan respons dan hanya melakukan restrukrisasi ini? Sedangkan di surat terakhir kami sudah menyerahkan semuanya kepada pihak bank untuk dilakukan penyitaan dan lelang.
2. Apakah ada hukum atau pasal yang mengharuskan membayar sisa tagihkan apabila KPA/KPR tersebut mangkrak ?
Mohon masukan dari Bapak Andi Saputra mengenai apa yang harus saya lakukan sebagai konsumen.
Terima kasih atas bantuannya.
Hormat saya
Tommy Wardana
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik’s Advocate di atas, kami meminta jawaban dari advokat yang juga Wakil Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI), Intan Nur Rahmawanti, SH, MH. Berikut penjelasan lengkapnya:
Pada dasarnya hubungan hukum antara nasabah dengan bank terletak pada perjanjian yang disepakati dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Di dalam perjanjian tersebut tentu saja tercantum klausula atau ketentuan mengenai segala sesuatu yang mungkin timbul dari perikatan tersebut. Asas pacta sun servanda mewajibkan perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak (vide: Pasal 1338 KUHperdata). Oleh karenanya para pihak harus tunduk pada perjanjian yang disepakati tersebut.
Dari perspektif perlindungan konsumen diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, yaitu antara konsumen dan pelaku usaha. Di antara hak dan kewajiban yang tertuang dalam undang-undang Perlindungan Konsumen adalah mengenai kewajiban untuk beriktikad baik dalam melakukan transaksi, serta melaksanakan prestasi untuk menuntaskan transaksinya. Bagi konsumen, terdapat kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c, yaitu kewajiban untuk membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Adapun nilai tukar yang disepakati tersebut tercantum dalam Perjanjian yang telah ditanda-tangani dengan pihak bank. Sedangkan untuk memenuhi keadilan, konsumen juga memiliki hak yaitu hak untuk didengar pendapat dan keluhannya mengenai barang atau jasa yang digunakan oleh konsumen.
Dalam perkara ini, konsumen yang dimaksud adalah nasabah debitur yang menerima fasilitas kredit dari bank. Dalam ketentuan Pasal 12A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, diatur bahwa dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu tertentu, dan tidak terdapat permasalahan terhadap kepemilikan Agunan, Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan. Bank Umum harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan kewajiban Nasabah Bank Umum yang bersangkutan.
Dalam hal harga pembelian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi jumlah kewajiban nasabah kepada bank umum, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian agunan.
LANGKAH HUKUM
Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam perundangan tersebut maka nasabah dapat berkomunikasi dengan bank untuk mencari solusi bersama agar tidak terjadi kerugian bagi kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak merasa penyelesaian yang ada belum memenuhi keadilan, para pihak dapat melaporkan persoalan ini kepada BPKN RI.
Sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka BPKN RI berwenang menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.
Demikian jawaban kami
Terima kasih
Intan Nur Rahmawanti SH.,MH.
Advokat dan Wakil Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI
Gedung BPKN, Jl. Jambu No 32, Menteng, Jakarta Pusat
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
|
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Kami harap pembaca mengajukan pertanyaan dengan detail, runutan kronologi apa yang dialami. Semakin baik bila dilampirkan sejumlah alat bukti untuk mendukung permasalahan Anda.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/HSF)