Jakarta –
Isu KPK dan Ombudsman akan dilebur jadi satu lembaga menyeruak. Pusat Kajian Antikorupsi Indonesai (Pukat) UGM menilai kepastian wacana itu terwujud tergantung dari posisi agenda pemberantasan korupsi di mata pemerintah Indonesia.
“Kalau memang ada usulan itu harus didasarkan atas satu kajian. Kita tentu lihat dulu apa alasan yang digunakan untuk melakukan peleburan KPK dan Ombudsman. Kalau memang nantinya jika ada usulan, apakah pemberantasan korupsi menjadi agenda yang penting atau pemberantasan korupsi itu dianggap kita menerima sebagai bangsa yang tidak bisa lepas dari korupsi,” kata peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, saat dihubungi, Kamis (4/4/2024).
Zaenur mengatakan pemerintah harus menyiapkan lembaga pemberantasan korupsi yang solid jika memang menganggap isu korupsi menjadi hal utama. Dia menilai lembaga penegak hukum yang ada saat ini belum maksimal dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia.
“Kalau Indonesia masih menganggap pemberantasan korupsi sebagai agenda yang penting maka perlu dipikirkan kelembagaannya. Nah apakah mungkin pemberantasan korupsi hanya dilakukan oleh kejaksaan sendiri? Ya mungkin-mungkin saja selama kejaksaan itu terlebih dahulu dibersihkan dari korupsi di internal kejaksaan,” jelas Zaenur.
Pukat UGM mengatakan beban pemberantasan korupsi tidak bisa diletakkan kepada institusi Polri dan Kejaksaan Agung semata. Atas dasar itu, Pukat UGM menilai KPK masih dibutuhkan sebagai lembaga untuk memberantas korupsi.
“Kalau kemudian KPK dihilangkan fungsi penindakannya, pertanyaannya siapa yang akan membersihkan korupsi di insitusi penegak hukum?” katanya.
Zaenur juga menjelaskan dua prasyarat jika wacana peleburan KPK dan Ombudsman akan serius dijalankan pemerintah. Dia mengatakan hal itu bisa dilakukan jika skor indeks persepsi korupsi di Indonesia telah tinggi.
“Prasyaratnya IPK Indonesia sudah sangat tinggi, misalnya di atas 90. Artinya korupsi sudah sangat rendah. Kalau dilakukan sekarang yang ada korupsi akan merebak tanpa ada detterence effect,” terang Zaenur.
Prasyarat kedua berupa penyiapan para aparat penegak hukum yang akan diberikan tugas memberantas korupsi. Zaenur mengatakan pemerintah harus telah menyiapkan aparatur yang mumpuni jika memang fungsi penindakan dari KPK dihilangkan saat peleburan KPK dan Ombudsman benar terwujud.
“Aparat penegak hukum yang akan diserahi fungsi penindakan sepenuhnya misalnya kejaksaan itu sudah terbukti sebagai insitusi yang profesional dan relatif bersih dari korupsi. Kalau itu sudah terjadi maka boleh-boleh saja menghilangkan fungsi penindakan dari KPK,” katanya.
“Tapi kalau dilakukan sekarang itu sama saja seperti mematahkan sebagian upaya pemberantasan korupsi,” sambung Zaenur.
Lebih lanjut Zaenur menilai hal yang paling urgen saat ini dilakukan pemerintah ialah memperkuat kembali KPK. Dia berharap independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi dikembalikan pemerintah.
“Yang seharusnya dilakukan bukan menghilangkan fungsi penindakan di KPK tapi kemudian KPK-nya dikembalikan independensinya dan bahkan dikuatkan dengan beberapa penguatan yang diperlukan. Misalnya jangan ada lagi penyidik dari luar itu untuk jamin independensi KPK. Jangan ada lagi pegawai-pegawai PNYD untuk cegah penyakit-penyakit birokrasi ke KPK,” ujar Zaenur.
Awal Isu KPK Digabung Ombudsman
Pimpinan KPK sebelumnya telah angkat bicara tentang kemungkinan institusinya dilebur dengan Ombudsman. Namun dari mana asal muasal isu itu?
Dalam diskusi ‘Pemberantasan Korupsi: Refleksi & Harapan’ yang digelar KPK pada Selasa, 2 April 2024, muncul salah satu pertanyaan melalui siaran langsung di YouTube KPK. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata lantas menanggapi pertanyaan itu.
“Sejauh ini pimpinan nggak dapat informasi itu, tetapi apakah ada kemungkinan? Ada,” kata Alexander.
Kemudian, Alexander mencontohkan Ombudsman dan penegak hukum korupsi digabung di Korea Selatan (Korsel). Dia menyebut semua keputusan itu tergantung pemerintah.
“Kita belajar dari Korea Selatan, Korea Selatan itu ketika sebelumnya ada nama independensi dan dianggap terlalu powerfull, ya, independensi sehingga enggak bisa, dianggap mengganggu ya sehingga digabungkan dengan Ombudsman di Korea Selatan seperti itu kan,” katanya.
“Bisa saja seperti itu kembali lagi, kami kan enggak bisa apa-apa ketika misalnya itu sudah menjadi suatu kebijakan putusan pemerintah dan didasarkan atas undang-undang,” tambahnya.
Namun demikian, Alexander memilih mengembalikan lagi wacana ini ke publik. Seperti apa nantinya harapan masyarakat terhadap KPK, itulah yang menurut Alex seharusnya diikuti oleh pemerintah.
“Kita sih wajib berharap dengan teman-teman, seperti Mas Kurnia (peneliti ICW) ini, kalau masih menganggap KPK itu penting dan rasanya masih dibutuhkan, mari kita bersama-sama, kan gitu,” kata Alex.
(ygs/aud)