Jakarta –
Ketika waktu menginjak malam dan terdengar suara dencitan serta sorot cahaya temaram yang terpantul pada sebuah bidang putih, saat itulah Nur Iyan Bekerja. Seperti namanya, Nur yang berarti cahaya, Iyan pun hidup dari cahaya. Bukan cahaya biasa, melainkan sorot lampu proyektor yang membiaskan rentetan pita film agar dapat dinikmati para penggemarnya.
Sudah 19 tahun Nur Iyan hidup sebagai penjual jasa layar tancap. Hidupnya semasa muda yang dekat dengan pertunjukan layar tancap membuatnya berpikir untuk menjadi bagian dari ekosistem ini. Ia mengakui, sebagai penggemar gambar hidup, Nur Iyan tidak serta-merta hanya menjadi penikmat film saja.
“Emang kayaknya udah mendarah daging. Dari masih kecil hobi (nonton) layar tancap, (suka) dengan proyektornya, dengan filmnya. Di sekolah juga ceritanya layar tancap aja, saking hobinya layar tancap,” kenang Iyan di Program Sosok detikcom.
Masa berganti masa, hasrat Nur Iyan pada tontonan massal pun tidak luntur begitu saja. Hingga Nur Iyan berkeluarga, hobi ini pun ditularkannya pada keluarga. Hingga puncaknya, Nur Iyan pun membeli proyektor film 16mm agar bisa menonton bersama keluarganya kapanpun mereka mau.
“Awalnya saya supir angkot, dari tahun 1991. Nah saya pikir daripada kita bete, beli alatnya (proyektor film) aja lah. Akhirnya saya beli film proyektor 16mm, di 2003. Pulang narik (angkot), saya iseng nonton film sama keluarga dalam rumah. Jadi nggak nyangka kalau sekarang itu saya punya film sebanyak ini dan bisa usaha di layar tancap,” ungkap Iyan.
Rupiah demi rupiah ia kumpulkan untuk memperbanyak koleksi filmnya. Bukan hanya produksi dalam negeri, sinema mancanegara pun sudah tertumpuk rapi di ruang khusus di sudut rumahnya.
“Di 2004, saya beli proyektor yang seperti di luar itu, yang proyektor 35 mm. Dan 2005 kan saya nggak punya filmnya, akhirnya saya kumpulin, saya beli film-filmnya. Ya Alhamdulillah sampai sekarang, kurang lebih hampir 450 judul film yang saya koleksi, berbagai genre,” jelas Iyan.
Sebuah kesempatan pun terbuka, Ternyata, ada banyak orang yang masih menaruh minat pada tontonan nostalgia dengan gaya lama: layar tancap. Oleh karena banyaknya koleksi yang dimilikinya, tidak sedikit orang yang berani untuk menyewa film-film Nur Iyan. Dari sinilah Nur Iyan mulai dikenal sebagai penyedia jasa sewa roll film 35mm.
Iyan mengungkapkan, dirinya selalu mendapatkan konsumen dari sosial media dan teman-teman di komunitas Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI). Saat ini, Iyan bisa mendapatkan panggilan untuk menyewakan layar tancap 4-5 kali dalam sebulan, dan permintaan sewa rol film setiap malam.
Pendapatan Iyan masih belum menjanjikan, sebab jumlah panggilan yang diterimanya tidaklah menentu. Untuk menyewakan satu set layar tancap, Iyan mematok harga antara Rp 4-5 juta, tergantung pada jumlah film yang diminta dan jarak lokasi pemutaran film.
Sementara untuk harga sewa roll film, tiap jenis film memiliki tarif yang berbeda. Roll film nasional bisa disewakan seharga 200-300 ribu Rupiah untuk setiap 3 hingga 4 judul film. Sementara produksi Bollywood bisa mencapai 300 rupiah ribu untuk satu judul film. Meski demikian, Nur Iyan menyadari bahwa bisnis yang ia jalani semakin sepi. Namun ia mengaku bahwa semangat mudanya selalu muncul bersamaan dengan nada ritmik roll film yang berputar di dalam proyektor. Bagaikan mesin waktu, Nur Iyan serta para peminat film layar tancap seolah tersedot oleh mesin waktu yang membawa mereka pada nostalgia era 70-an saat layar tancap sedang berjaya.
“Yang saya rasakan (saat melihat penonton) itu saya senang, gembira. Nah inilah enaknya di layar tancap seperti ini, gitu. Kita bisa tawa-tawa sama temen-temen kalau ngeliat adegan di film, bisa kita sorak-sorak. Itu, ada keunikan tersendiri, ” ungkap Iyan.
Gulungan-gulungan film itu berhasil membawa Nur Iyan melanglang buana hingga ke luar Pulau Jawa. Iyan yang dulu memegang kendali setir angkot mungkin tak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi seorang pengusaha layar tancap yang dikenal banyak orang.
Meski nasib layar tancap bagaikan kerlip cahaya proyektor yang terang-redup dan kalah riuh oleh pemutar film di era digital, Nur Iyan justru semakin setia dengan proyektor tua miliknya. Agar layar tancap tidak benar-benar mati dan berhenti di tangannya, Nur Iyan pun mulai mengajari anak-anaknya untuk memahami cara kerja ‘mesin waktu’-nya.
“Selagi saya masih panjang umur, saya masih sehat, tetap nggak bakal saya buang, nggak bakal saya hilangkan (peralatan layar tancapnya). Saya (akan terus) merawat, mengoleksi film-film 35mm ini. Selagi masih ada nafas saya. Saya masih bertahan. Semoga di keluarga saya ada yang nerusin usaha di layar tancap ini. Karena biar dijaga, biar dilestarikan, biar film seluloid 35mm ini nggak punah. Keinginan saya seperti itu,” pungkas Iyan.
(sss/nel)