Jakarta –
Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022-Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Kasus KSBE yang diterima Komnas Perempuan mencapai 2.776 kasus. Sementara itu, ada 623 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan.
“Dan yang paling banyak, ini sama seperti yang disampaikan oleh kak Ratna, itu adalah KSBE. KSBE itu mencapai 2.776 kasus, kemudian pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik itu 623, dan baru perkosaan,” ucap Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam jumpa pers di Hotel Mercure Jakarta Sabang, Jakarta Pusat, Jumat (3/5/2024).
Siti kemudian menjelaskan bahwa jumlah kasus kekerasan seksual yang diterima Komnas Perempuan dari tahun ke tahun bersifat konstan. Hanya saja, temuan tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan pada kasus KSBE.
“Dan sebenarnya kalau, saya tidak hafal perbandingannya, tapi kekerasan seksual yang diadukan ke komnas Perempuan angkanya itu ajeg, 3.000, 4.000, atau secara kumulatif itu kan kalau pengaduan ke Komnas Perempuan itu 5.000-an per thaun. Dan memang yang mencuat tiga tahun belakangan ini adalah kekerasan seksual berbasis elektronik,” tuturnya.
Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa korban kasus kekerasan seksual beragam, namun yang paling banyak adalah pada usia produktif.
“Tapi yang menjadi catatan sebenarnya ini kan kasus yang mengemuka itu kasus kekerasan seksual berbasis elektronik, itu umumnya banyak dilakukan oleh mantan pacar. Jadi di ranah personal,” katanya.
Sementara itu, Direktur LBH APIK Jawa Barat Ratna Batara Munti mengatakan kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan di Jawa Barat. Ini terutama terjadi pada kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).
“Di APIK Jabar kita dari 2022-2023 aja udah meningkat sampai 103. Begitu banyaknya korban. Terutama korban KBGO. Banyak sekali,” ujar Ratna dalam acara yang sama.
Ratna juga menyampaikan bahwa dalam begitu banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi, posisi korban masih sangat lemah dalam peradilan. Ini kemudian menjadi hal yang terus diupayakan dalam UU TPKS.
“Posisi korban itu masih sangat lemah di dalam sistem peradilan pidana kita. Makanya kita berupaya dalam TPKS gitu ya. Dan ini kan kapolres sendiri sudah mengedarkan surat bahwa semua jajaran kepolisian itu jarus menegakkan si undang-undang TPKS ini,” ucapnya.
UU TPKS Dianggap Tak Sinkron dengan UU Lain
Posisi korban kekerasan seksual yang lemah hingga saat ini masih menjadi upaya yang diperjuangkan Komnas Perempuan. Ketidaksinkronan UU TPKS yang ada dengan UU lain seperti UU ITE menjadi hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual secara hukum.
“Terkait misalnya penerapan KBGO atau KSBE, kekerasan seksual berbasis elektronik, itu suatu contoh ya, itu kan di UU TPKS pasal 14 itu juga tidak bisa menjangkau semua, masih terbatas, artinya kita masih membutuhkan undang-undang ITE kan, tetapi kita kelewatan,” ujar Ratna.
Siti kemudian mengamini hal tersebut. Siti mengaku Komnas Perempuan sudah mengajukan sinkronisasi antar undang-undang ini kepada DPR, namun belum ada perubahan yang diterima.
“Ada undang-undang yang belum sinkron dan harmonis, yaitu tadi yang seperti disampaikan Kak Ratna, revisi UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi itu prinsip-prinsipnya belum sinkron dengan UU TPKS, khususnya untuk perlindungan korban KBGO atau KSBE,” ungkap Siti.
“Nah, Komnas Perempuan sendiri saat pembahasan di DPR RI kami mencoba menyampaikan saran dan masukan agar prinsip-prinsip di dlm UU TPKS juga diadopsi di dalam UU PDP maupun di dalam ITE. Namun tidak ada satu kata pun yang dimasukkan gitu ya,” lanjutnya.
(jbr/imk)