Jakarta –
Ada yang berbeda dari keikutsertaan Indonesia dalam ajang United Nation Forum on Forest (UNFF) tahun ini. Tak hanya sebatas terlibat sebagai peserta, delegasi Indonesia menggelar forum khusus yang menyoroti sistem pemantauan hutan sebagai isu krusial dalam menilai tingkat deforestasi. Forum ini mempertemukan para praktisi, pakar dan pemangku kepentingan di markas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Sejumlah nama yang cukup dikenal secara global di sektor kehutanan dan lingkungan hidup menjadi pembicara, seperti Matthew Hansen (Akademisi Departemen Ilmu Geografi, Universitas Maryland), Fred Stolle (World Resources Institute), Sara Goeking (US Forest Service) dan Shyam K. Paudel, PhD (Penasihat Antar-regional dari Sekretariat UNFF). Sementara dari dalam negeri terdiri dari Agus Justianto (Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Berkelanjutan KLHK) hingga Indroyono Soesilo (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia). Mereka dihadirkan untuk berbagi pengalaman dari praktik-praktik membangun sistem pemantauan hutan.
“Untuk mengelola hutan secara lestari, kami percaya bahwa salah satu faktor kunci dan penting adalah Sistem Pemantauan Hutan. Sistem pemantauan hutan memainkan peran penting dalam pengelolaan hutan lestari dengan memberikan informasi yang dapat ditindaklanjuti oleh para pengambil keputusan untuk melestarikan hutan, memerangi perubahan iklim, dan meningkatkan mata pencaharian,” ujar Wakil Menteri KLHK, Alue Dohong, saat membuka forum diskusi, Jumat (10/5/2024).
Delegasi Indonesia menggelar forum khusus yang menyorot sistem pemantauan hutan sebagai isu krusial dalam menilai tingkat deforestasi. (Idham A. Sammana/detikcom)
|
Sejalan dengan hal yang disampaikan Wakil Menteri KLH, Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan KLHK, Agus Justianto memaparkan pentingnya akurasi data dan informasi pemantauan hutan sebagai referensi yang berarti dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan hutan. Seperti dalam menentukan level deforestasi di salah satu wilayah hutan.
“Kami mendefinisikan deforestasi. Jika tidak ada kelas tutupan lahan, maka data berubah dari tujuh kelas tutupan hutan dan tutupan non-hutan. Selain itu, Indonesia juga mendefinisikan deforestasi neto, yang dihasilkan dari penghitungan deforestasi bruto kotor dengan reboisasi,” papar Agus.
Selain menjelaskan esensi data tutupan hutan terhadap rumusan kebijakan pengelolaan hutan nasional, Agus Justianto juga menyorot metode penentuan level deforestasi yang dipakai oleh Uni Eropa. Di mana proses pengumpulan data dan informasi dilakukan tanpa pengecekan ulang di lapangan. Metode belakangan memunculkan kontroversi karena dijadikan standar regulasi dalam menentukan kelayakan komoditas yang ingin dijual ke kawasan Uni Eropa.
“Saya juga ingin menegaskan kembali pentingnya akurasi data dan informasi, terutama dalam mengembangkan kebijakan, sebagai contoh, kebijakan EUDR (EU Deforestation Regulation) yang pendekatannya masih berdasarkan parameter makro atau global. Kebijakan EUDR harus mempertimbangkan lebih banyak parameter dan perlunya kegiatan pengecekan lapangan,” ujarnya.
Pengembangan sistem pemantauan hutan di Indonesia kini menunjukkan perkembangannya. Melalui Sistem Monitoring Hutan Nasional (SIMONTANA) menghasilkan data hutan yang lebih cepat dan akurat. Referensi SIMONTANA menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan kebijakan penanganan hutan nasional. Terbukti dari riset yang dilakukan peneliti asal Universitas Maryland AS, Matthew Hansen, yang mendapatkan laju deforestasi di Indonesia menurun dengan tajam, di mana saat ini sekitar 200.000 hektar per tahun. Padahal, 10 tahun yang lalu, luasan deforestasi sekitar dua kali lipatnya.
“Ini benar-benar kabar baik dari Indonesia. Jika Anda melihat seluruh catatan satelit yang dapat kami gunakan untuk memantau pada skala nasional sejak tahun 1990, tujuh tahun terendah dalam hal kehilangan hutan primer dalam seluruh catatan adalah tujuh tahun terakhir. Jadi, ini adalah penurunan yang dramatis dan penurunan yang berkelanjutan selama lebih dari lima tahun dalam hal deforestasi,” ujar Matthew yang juga punya pengalaman meneliti di Indonesia.
Pembicara lainnya, Dwisuryo Indroyono Soesilo (Ketua Umum APHI) mengapresiasi efektivitas sistem monitoring nasional. Selain SIMONTANA, Indonesia juga memiliki SIPUH (sistem informasi penatausahaan hasil hutan) dan SiPongi yaitu sistem informasi KLHK untuk mendeteksi titik api dan prakiraan cuaca. Indrayono menilai sistem-sistem tersebut berbasis kolaborasi, yang menjadi kunci keberhasilan pemantauan untuk kelestarian hutan.
“Ini adalah kunci yang cocok dengan sistem pemantauan hutan. Di tingkat nasional membutuhkan kolaborasi yang kuat di antara para pemangku kepentingan,” ucap Indrayono
“Penurunan laju deforestasi dan kebakaran hutan di Indonesia dalam satu dekade terakhir merupakan hasil dari pendekatan partisipatif berbagai pemangku kepentingan,” tambahnya.
(ids/rfs)