Jakarta –
Anggota Komisi I DPR Fraksi PKS, Sukamta, menanggapi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru yang menuai kritik. Sukamta menjelaskan latar belakang pengaturan soal larangan penayangan jurnalistik investigasi dalam RUU itu.
“Latar belakang mengapa dalam draf revisi UU penyiaran dicantumkan larangan lembaga penyiaran untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten,” kata Sukamta kepada wartawan, Senin (13/5/2024).
Sukamta berpendapat bahwa tayangan investigasi memang diperlukan untuk masyarakat banyak. Soal penayangan eksklusif, Sukamta mencontohkan acara pesta yang digelar seseorang.
“Tayangan investigasi diperlukan bagi pemirsa untuk mendapatkan informasi yang penting bagi masyarakat banyak. Contohnya tayangan yang membongkar bisnis makanan atau minuman yang ternyata tidak sehat, atau tayangan yang membongkar praktik kejahatan yang banyak terjadi di masyarakat, seperti judi online, sindikat narkotika. Tayangan-tayangan seperti ini justru sangat edukatif dan berguna bagi masyarakat luas,” kata Sukamta.
“Tapi, tayangan yang menampilkan secara eksklusif acara pesta seseorang, entah pernikahan atau ulang tahun, secara berkepanjangan, rasanya yang seperti ini tidak perlu, karena tidak edukatif, penayangan mestinya seperlunya saja, karena frekuensi penyiaran adalah hak publik,” lanjutnya.
Sukamta mengatakan tayangan jurnalistik investigasi dibutuhkan tetapi dengan batasan.
“Intinya, tayangan jurnalistik investigasi diperlukan, namun ada batasnya, sehingga pelarangan yang dimaksud dalam draf revisi UU penyiaran itu maksudnya adalah perlu pembatasan,” kata dia.
Lebih lanjut, Sukamta menjelaskan soal ketentuan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang menyelesaikan sengketa pers. Terkait hal ini, dia menilai mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa pers masih bermasalah.
“Pada Pasal 8A huruf q RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan salah satu kewenangan KPI adalah menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran,” kata Sukamta.
“Kewenangan ini dinilai bersinggungan dengan Dewan Pers yang diatur dengan UU Pers yang memiliki mekanisme hak jawab dan hak koreksi. Tapi mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang diatur oleh UU Pers menjadi masalah,” sambungnya.
Sukamta pun mendorong Komisi I DPR agar kembali membahas kelanjutan penyusunan draf RUU Penyiaran bersama Dewan Pers dan pemerintah.
“Komisi I DPR RI harus kembali membahas bersama Dewan Pers dan pemerintah untuk mempertegas lex specialis terhadap posisi UU Pers. Idealnya, UU Pers merupakan lex specialis, yaitu UU Pers yang bersifat khusus meniadakan UU bersifat umum,” kata dia.
(fca/gbr)