BANYUMAS — Heriana Ady Chandra. Nama tersebut tidak asing lagi di kalangan relawan bencana di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Sejak awal 2000-an, pria yang akrab disapa Ace ini aktif dalam kegiatan kebencanaan. Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan.
Setelah sempat menjadi Koordinator Taruna Siaga Bencana (Tagana) Banyumas, kini Ace yang berusia 41 tahun mengemban amanat sebagai Koordinator Tagana Jateng.
Perjalanan panjang Ace berawal dari Pramuka. Setelah lama berkecimpung di kegiatan kepanduan, pada tahun 2005 ia diminta untuk menjadi instruktur anggota baru Tagana Banyumas.
Dalam perjalanannya, tepatnya di tahun 2008, ia akhirnya resmi bergabung sebagai anggota tingkat muda Tagana Banyumas. Pada 2013 ia mendapat kenaikan tingkat menjadi anggota madya dan sejak 2019 berstatus anggota utama. Ace menjadi satu dari dua anggota Tagana tingkat utama di Jateng.
Berawal dari melihat evakuasi kecelakaan bus
Pria kelahiran 1983 ini menceritakan, ketertarikannya menjadi relawan bermula saat masih duduk di bangku SMA. Saat itu ia melihat sulitnya evakuasi korban kecelakaan bus yang terjun ke Sungai Serayu.
“Awalnya saya sempat dikabarkan menjadi korban dalam kecelakaan itu saat pulamg sekolah. Berhari-hari saya hanya bisa melihat proses evakuasi, tanpa bisa membantu. Dari situ saya mulai tertarik,” kata Ace saat ditemui, Sabtu (11/5/2024) Sejak saat itu, ia tergerak untuk menjadi relawan kebencanaan atau kemanusiaan.
Sejak di Pramuka hingga Tagana, ia telah bertugas di berbagai lokasi bencana. Sebut saja seperti tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, erupsi Gunung Merapi, gempa Cianjur, kebakaran hutan Kalimantan, gempa Lombok dan lainnya.
Ace mendedikasikan hidupnya untuk kegiatan kemanusiaan. Bahkan saking banyaknya kegiatan, ia jarang pulang ke rumahnya di Rawalo, Kabupaten Banyumas. Ia selama ini lebih sering tidur di Posko Tagana atau Sekretariat Pramuka.
“Pernah suatu malam saya dan tim diminta untuk mengamankan sarang tawon di rumah warga. Waktu perjalanan pulang, ada kecelakaan dan diminta untuk mengevakuasi korban ke rumah sakit, korbannya meninggal,” tutur Ace.
Tak berhenti di situ, setelah ditangani di rumah sakit, ia diminta keluarga untuk sekalian mengantar korban ke rumah duka karena tak mampu membayar biaya mobil jenazah.
“Akhirnya kami baru bisa pulang larut malam. Padahal badan kami kotor semua, bau bensin juga karena habis mengamankan sarang tawon, pulangnya malah bawa jenazah,” kata Ace terkekeh mengingat peristiwa tersebut.
Ikhlas dalam bertugas
Ace mengaku, tidak mengharapkan imbalan saat membantu orang yang membutuhkan. Meskipun mendapat honor tak seberapa, ia ikhlas menjalankan tugasnya.
Ace mengatakan, anggota Tagana tidak menerima honor, tapi hanya tali asih dari Kementerian Sosial (Kemensos). Besarannya Rp 250.000 per bulan yang biasanya dirapel enam bulan sekali.
“Kalau dipikir-pikir tidak masuk akal (uang segitu untuk hidup). Jangankan untuk kesejahteraan, untuk kegiatan peningkatan kapasitas (anggota) juga kadang kesulitan,” kata Ace dengan senyum kecut.
Bahkan tidak jarang, ia harus mengeluarkan uang dari kantong pribadinya untuk dana talangan sebuah kegiatan, misal untuk operasional kegiatan SAR dan lainnya.
Namun ia meyakini, Tuhan membuka banyak pintu rejeki melalui jalan yang tidak disangka-sangka. Ace menyisihkan honor sebagai narasumber atau instruktur pelatihan untuk kehidupan sehari-hari.
“Ada saja jalan, rejeki selalu ada tanpa disangka-sangka. Saya sering jadi narasumber (pelatihan kebencanaan), instruktur, kkadang malah uangnya dipakai untuk nomboki kegiatan dulu,” ungkap Ace.
Ace juga meyakini prinsip tabur tuai. Siapa yang menabur kebaikan, maka akan memanen kebaikan pula.
“Rata-rata yang dibantu itu kan orang lagi kesusahan, maka semaksimal mungkin saya akan bantu orang itu, paling tidak bisa meringankan beban. Suatu saat pasti ada gantinya, kita akan memanen apa yang ditanam,” ucap Ace.
Harus berhenti sementara waktu…
Namun di tengah pengabdiannya ini, Ace terpaksa harus berhenti sementara waktu. Sebulan lalu, tepatnya seusai lebaran, ia divonis dokter menderita ginjal kronis.
Akibatnya, pria bertubuh gempal ini harus menjalani cuci darah dua minggu sekali di RST Wijayakusuma. Sebelum divonis ginjal kronis, Ace masih melakukan aktivitas seperti biasa.
Ia sempat bertugas saat banjir di Demak selama kurang lebih sepekan. Sepulang dari Demak, ia melanjutkan tugas bergabung dengan tim di Posko Induk Mudik Lebaran.
“Saya lebaran masih sempat pulang, keliling silaturahmi. Kemudian kembali ke posko, tiba-tiba badan saya lemas, sadar-sadar sudah di rumah sakit,” kata pria yang pernah mendapat juara harapan 2 Tagana teladan tingkat nasional ini.
Yang membuatnya kaget, saat itu dokter langsung menyuruh dia untuk melakukan cuci darah. Pasalnya, dari hasil tes laboratorium kandungan kreatinin dalam tubuhnya sangat tinggi.
Dia awalnya sempat ragu, bahkan menolak untuk melakukan cuci darah. Namun setelah diberi pemahaman, ia akhirnya bersedia menjalani cuci darah. Setiap hari Rabu dan Sabtu, ia diantar ambulans desa ke rumah sakit.
“Dulu saya pernah ngopeni orang antara jemput cuci darah, sekarang saya yang harus menjalani cuci darah,” ujar Ace.
Meski dalam kondisi demikian, Ace bertekat ke depan akan tetap melakukan kegiatan kemanusiaan. Saat ini ia sedang fokus menjalani pengobatan.
“Sekarang saya harus disiplin mengikuti perintah dokter. Kondisi ini tidak mengurangi semangat saya untuk terus berkiprah,” tegas Ace.
Namun Ace sadar setelah kondisinya membaik nanti, tidak bisa lagi melakukan aktivitas fisik yang berat. Ia butuh adaptasi dengan kondisinya.
Ketika sudah bisa menyesuaikan, saya akan kembali beraktivitas, tapi yang ringan, misal memberikan materi pelatihan, kegiatan yang menguras fisik dikurangi,” ucapnya.
Ace mengaku, kondisinya ini diakibatkan pola hidup yang tidak sehat ditambah aktivitas berat. Untuk itu, ia meminta rekan-rekannya untuk selalu menjaga kesehatan.
“Semoga dengan kejadian saya ini menjadi contoh bagi teman-teman, tetap menjalankan pola hidup sehat,” pesan Ace menutup obrolan.