Jakarta –
Jaksa menghadirkan ahli perancang bangun, Dharma Sembiring sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus proyek pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol MBZ tahun 2016-2017. Sembiring mengungkap kejanggalan pada proyek Tol MBZ yakni perubahan basic design.
“Dalam proyek ini, proyek jalan Tol Japek ini apakah sudah sesuai?” tanya ketua majelis hakim Fahzal Hendri dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Selasa (21/5/2024).
“Banyak kami temukan kejanggalan kejanggalan ya, karena design and build itu sebenernya dia udah punya basic design tetapi dalam perjalanannya ini berubah. Berubah dari beton,” jawab Sembiring.
Sembiring mengatakan konsep awal basic design Tol MBZ sudah sesuai. Namun, dia mengatakan dalam pelaksanaan proyek itu terjadi permohonan perubahan basic design dari beton menjadi girder baja.
“Konsep awalnya sudah bener?” tanya hakim.
“Sudah benar, Yang Mulia,” jawab Sembiring.
“Di dalam perjalanan pembangunan ini ada yang dilanggar?” tanya hakim.
“Iya benar, ada yang diubah,” jawab Sembiring.
“Apa contohnya?” tanya hakim.
“Contohnya ini kan kami ada dapat datanya bahwa ada permohonan untuk merubah dari beton menjadi girder baja,” jawab Sembiring.
Sembiring mengaku heran terkait permohonan perubahan basic design tersebut. Dia mengatakan pihaknya belum menemukan alasan perubahan tersebut.
“Perubahan itu apakah sudah sesuai dengan ketentuan?” tanya hakim.
“Nah, sebenernya ini ketentuan awalnya adalah beton nah ini kenapa dirubah jadi baja lagi, harusnya ada satu persetujuan karena ada permohonan di sini, kepada langsung Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Nah, kami ingin tahu jawabannya apakah disetujui atau tidak, nah kalau disetujui kan ini sesuatu yang sudah direncanakan matang-matang itu sudah disusun juga cukup matang, kenapa berubah, itu. Pertimbangan perubahannya itu apa,” jawab Sembiring.
“Belum ada jawabannya?” tanya hakim.
“Belum ada, kami belum menemukannya Yang Mulia,” jawab Sembiring.
Sembiring mengatakan basic design seharusnya sudah direncanakan secara matang di awal perencanaan pembangunan. Dia mengatakan harus ada justifikasi jika ingin dilakukan perubahan basic design.
“Kalau tidak boleh berubah dari perencanaan awalnya itu apa dasarnya?” tanya hakim.
“Sebenernya kalau mau dirubah boleh asal ada justifikasinya itu yang kami simpulkan tadi Yang Mulia, boleh dirubah, tapi justifikasinya,” jawab Sembiring.
“Tetapi harus ada alasan?” tanya hakim
“Justifikasi,” jawab Sembiring.
Hakim menanyakan justifikasi tersebut. Sembiring mengatakan justifikasi itu merupakan pembuktian secara teknis terkait perubahan yang akan dilakukan.
“Justifikasi seperti apa itu contohnya?” tanya hakim.
“Justifikasi itu artinya pembuktian secara teknis. Jadi bisa dibuktikan secara teknis, begitu,” jawab Sembiring.
Hakim lalu menanyakan syarat persetujuan untuk melakukan perubahan basic design. Sembiring mengatakan persetujuan harus dilakukan oleh pemilik pekerjaan atau Menteri PUPR.
“Kan begitu tadi kan harus ada persetujuan dari siapa tadi pak?” tanya hakim.
“Ada pejabat yang berwenang untuk itu pak, yang menentukan itu,” jawab Sembiring.
“Tadi siapa ? persetujuan dari siapa ? siapa ? harus mendapat persetujuan Menteri PUPR?” tanya hakim.
“Sebenernya di sini pemilik pekerjaan Pak, BPJT atau Menteri PUPR,” jawab Sembiring.
“Tapi di dalam dokumen itu tidak ditemukan itu?” tanya hakim.
“Kami belum menemukannya Yang Mulia,” jawab Sembiring.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek (JJC) periode 2016-2020 Djoko Dwijono didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 510 miliar dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol layang MBZ tahun 2016-2017. Jaksa mengatakan kasus korupsi itu dilakukan secara bersama-sama.
Jaksa menyebut kasus korupsi tersebut dilakukan Djoko bersama-sama dengan Ketua Panitia Lelang di JJC Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT. Bukaka Teknik Utama sejak tahun 2008 dan Kuasa KSO Bukaka PT KS Sofiah Balfas serta Tony Budianto Sihite selaku Team Leader Konsultan perencana PT LAPI Ganesatama Consulting dan Pemilik PT Delta Global Struktur. Masing-masing dilakukan penuntutan di berkas terpisah.
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 510.085.261.485,41 (Rp 510 miliar),” ujar jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 14 Maret lalu.
(mib/dwia)