Jakarta –
Jaksa KPK menghadirkan Direktur PT Haka Cipta Loka dan Haka Loka, Hendra Putra, sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus gratifikasi dan pemerasan. Hendra menceritakan curhat pejabat Kementerian Pertanian (Kementan) yang menyebut pimpinannya seperti iblis.
Jaksa awalnya menanyakan permintaan ke Hendra selaku vendor di Kementerian Pertanian (Kementan). Dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Rabu (22/5/2024), Hendra mengaku dicurhati mantan Subkoordinator Pemeliharaan Biro Umum dan Pengadaan Kementan, Gempur Aditya.
“Pak Hendra yang nilainya lebih gede. Gimana cerita Pak Hendra selaku Direktur PT Haka, kemudian ada juga CV Haka. Pak Hendra ini bahkan sampai bersurat ya. Bisa dijelaskan kronologisnya?” tanya jaksa.
“Jadi pada waktu itu tahun 2021 Pak Gempur secara tiba-tiba meminta saya untuk ngobrol di ruangan beliau. Dia langsung bilang, ‘om tolong bantu kita dong, ini gue kejebak nih’,” jawab Hendra.
Jaksa mendalami cerita Gempur. Hendra mengatakan Gempur curhat mengaku kejebak serta menyebut pimpinannya iblis.
“Kejebak maksudnya?” tanya jaksa.
“Saya nggak tahu. Jadi kejebak, ‘kejebak kenapa om?’ ‘Pemimpin sekarang iblis semua’ kata dia. ‘Tolong bantu kita untuk menalangi permintaan pimpinan tiap bulannya.’ Ya saya sampaikan, ‘apa yang saya bantu? Cuma uang saya kan nggak banyak om.’ ‘Udah tenang aja lu, nanti gue kasih kerjaan dah.’ Yaudah,” jawab Hendra.
Hendra mengatakan Gempur menjanjikan uang yang dipinjam darinya akan dikembalikan lantaran menyakini SYL akan di-reshuffle. Dia mengatakan Gempur menyebut uang itu akan dikembalikan dari patungan eselon I Kementan.
“Itu janji-janjinya?” tanya jaksa.
“Iya. Jadi selain itu juga dia bilang begini pak, ‘itu nggak lama kok. Sebentar lagi dia juga kena reshuffle. Setelah dia reshuffle nanti enggak akan ada lagi yang seperti ini permintaan-permintaan’. Di samping itu, lalu saya ditemui Pak Hafidz. Saya juga diminta diketahui nggak hanya Pak Gempur. Jadi selain Pak Hafidhz, saya minta temui pimpinan di atas Pak Hafidhz. Waktu itu saya belum kenal sama Pak Musyafak. Didampingilah saya oleh Pak Gempur hari keberapanya, ketemu dengan Pak Musyafak di ruangan beliau. Dia hanya bilang ‘iya mas tolong bantu kami. Mas Hendra nggak usah khawatir. Nanti uang itu akan diganti dari patungan eselon I’,” jawab Hendra.
Hendra mengetahui adanya praktik patungan sharing eselon I itu dari cerita Gempur. Dia mengaku mengikuti pemberitaan terkait reshuffle menteri hingga merasa kasihan dan meminjamkan uang ke Kementan.
“Di situ anda tahu uang patungan?” tanya jaksa.
“Iya, jadi saya memang dijanjikan itu dari Pak Musyafak, Pak Gempur, dan Pak Hafidhz. Lalu seiring waktu berjalan, pernah ketika pengumuman reshuffle itu ternyata Pak SYL tetap menjadi menteri, 2021 itu. Seingat saya ada 2 kali pengumumanlah waktu itu. Sampai-sampai saya mengikuti juga dengan teman-teman teknisi saya menonton. Jadi secara psikologis saya juga ikut menjadi beban Pak. Bertambah. Ini kalau nggak ganti-ganti saya kapan selesainya ini. Akhirnya saya juga timbul rasa kasihan, saya memang niat tulus membantu karena saya diyakini terus oleh Pak Gempur, ‘udah om nggak usah khawatir. Uang lu aman, pokoknya ini nanti tunggu patungan eselon I. Nanti gue kawal terus.’ Nah sampai dengan akhir tahun, yang saya rasakan itu udah mulai terus menerus permintaan itu,” jawab Hendra.
Jaksa lalu merincikan permintaan ke Hendra oleh Kementan seperti biaya nikahan cucu hingga sewa Alphard. Hendra mengatakan hingga saat ini Kementan masih berhutang kepadanya senilai Rp 1,6 miliar.
“Di BAP saudara ini mulai dari bayar sepeda menteri?” tanya jaksa.
“Itu sudah,” jawab Hendra.
“Terus Januari pinjam sementara Rp 5 juta, pinjam dana Rp 100 juta, sewa alphard Rp 43 juta, biaya nikahan cucu Rp 13 juta, sampai poin ke 95 dengan total Rp 2,15 (miliar) sedangkan yang dibayarkan nominal pengembaliannya baru sekitar Rp 854 (juta). Bisa saksi jelaskan ini?” tanya jaksa.
“Mungkin kalau ada catatan versi saya, yang sudah saya kirimkan. Per hari ini itu sisanya Rl 1,6 sekian sekian miliar lagi yang belum terbayar,” jawab Hendra.
Diketahui, SYL didakwa melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi dengan total Rp 44,5 miliar. Dia didakwa bersama dua eks anak buahnya, yakni Sekjen Kementan nonaktif Kasdi dan Direktur Kementan nonaktif M Hatta. Kasdi dan Hatta diadili dalam berkas perkara terpisah.
(mib/ygs)