Jakarta –
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pengawasan ketat terhadap buku-buku dalam program Kemendikbudristekdikti, Sastra Masuk Kurikulum. KPAI meminta buku-buku dalam Sastra Masuk Kurikulum bersih dari pornografi hingga kekerasan.
“Buku sastra yang direkomendasi masuk kurikulum tidak boleh bermuatan SARA, kekerasan fisik/psikis, pornografi, kekerasan seksual, diskriminasi, dan intoleransi,” kata Aris Adi Leksono selaku Anggota KPAI Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama, dilansir Antara, Senin (3/6/2024).
Aris mengatakan permintaan dari KPAI itu sebagai respons ramainya dugaan karya sastra yang bermuatan kekerasan dan tidak ramah terhadap anak telah direkomendasikan masuk kurikulum sekolah. Dia menjelaskan pemilihan buku sastra harus memperhatikan prinsip dasar perlindungan anak.
Selain itu KPAI juga meminta pemilihan buku sastra yang akan direkomendasikan masuk kurikulum harus mementingkan kepentingan anak, hak untuk hidup atau kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Buku-buku sastra tersebut diharapkan juga tidak memuat konten intoleransi.
KPAI berharap dalam proses pemilihan buku sastra dan perbaikan buku panduan pengguna turut melibatkan psikolog anak, agamawan, pemerhati anak, pakar pendidikan, ahli sastra, guru, serta forum anak.
“Setiap proses kurasi, review, uji keterbacaan, serta uji publik harus melibatkan anak, sebagai pihak pengguna buku tersebut,” kata Aris Adi Leksono.
Menurut Aris, sesuai dengan amanah Konvesi Hak Anak serta UU Perlindungan Anak, tiap anak berhak mendapatkan informasi yang bermanfaat dan dipahami oleh anak itu sendiri.
“Selain itu anak juga wajib mendapatkan perlindungan pada satuan pendidikan, salah satunya dalam bentuk mendapatkan sumber belajar yang ramah; tidak mengandung unsur kekerasan fisik, psikis, seksual, intoleransi, serta diskriminasi.” katanya
KPAI menegaskan bahwa dalam UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan telah diatur syarat isi buku, yakni tidak bertentangan dengan Pancasila, tidak diskriminatif, tidak mengandung unsur pornografi, kekerasan, dan ujaran kebencian.
“Maka buku sastra yang direkomendasikan harus memenuhi syarat isi tersebut,” pungkas Aris.
(ygs/dnu)