Jakarta –
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menanggapi vonis 2,5 tahun penjara terhadap mantan anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi. Alex mengaku yakin vonis Achsanul bisa lebih berat jika kasus tersebut ditangani KPK.
Hal itu disampaikan Alex dalam diskusi Mencari Pemberantasan Korupsi: Menjaga Independensi, Menolak Politisasi, di Jakarta Selatan, Jumat (21/6/2024). Alex awalnya berbicara soal sistem pemberantasan korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian.
“KPK itu hanya subsistem dari sistem pemberantasan atau pencegahan korupsi secara keseluruhan karena ada Kejaksaan, ada Kepolisian. Beda dengan Malaysia, Singapura, Hongkong, atau negara lain mereka mendirikan lembaga atau semacam KPK itu menjadi lembaga satu-satunya yang diberi kewenangan memberantas korupsi,” kata Alex.
Alex mengatakan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia yang lebih dari satu itu terkadang bisa menimbulkan masalah. Dia menilai bisa terjadi tumpang tindih kewenangan tiap lembaga tersebut.
“Ketika kewenangan pemberantasan korupsi itu sudah berlatih ke lembaga independen mereka tidak lagi menangani korupsi. Artinya apa? Dia bisa all out, bisa membuat kebijakan, bisa membuat sistem bagaimana mencegah dan memberantas atau menindak korupsi,” ujar Alex.
“Tapi kan di sini sekarang nggak. Ini dampaknya luar biasa terutama kalau dikaitkan dengan standarisasi atau kualitas penanganan perkara,” sambungnya.
Alex lalu menyinggung vonis 2,5 tahun penjara yang diterima Achsanul Qosasi. Menurutnya, dengan nilai korupsi Rp 40 miliar yang dilakukan Achsanul, vonis yang diterima harusnya bisa lebih berat.
“Kemarin kita baru diperlihatkan korupsi Rp 40 miliar, salah satu anggota BPK dituntut berapa? 5 tahun. Vonisnya berapa? 2,5 tahun. Lah kalau ditangani KPK saya pastikan pasti tidak akan dituntut setengah itu,” jelas Alex.
Alex menilai perlu ada standar yang sama di antara lembaga pemberantasan korupsi dalam menangani sebuah perkara.
“Inilah yang menjadi persoalan di lembaga penegakan hukum kita terutama pada pemberantasan korupsi ketika ada institusi, tiga institusi yg memiliki kewenangan yang sama dalam penyidikan,” ujar Alex.
“Menjadi pertanyaan bagaimana dengan quality assurance-nya, bagaimana siapa yang harus menjamin bahwa ada perlakuan sama ketika seorang tersangka ditangani KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan itu sama ketika dilimpahkan ke pengadilan baik yang dilimpahkan ke Kejaksaan atau ke KPK itu standarnya sama,” imbuhnya.
Vonis Achsanul Qosasi
Seperti diketahui, Achsanul Qosasi divonis 2,5 tahun penjara. Hakim menyatakan Achsanul terbukti bersalah menerima uang senilai USD 2,64 juta atau sebesar Rp 40 miliar terkait kasus korupsi proyek BTS 4G pada Bakti Kominfo.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Prof Dr Achsanul Qosasi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif ketiga penuntut umum,” kata ketua majelis hakim Fahzal Hendri saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/6).
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan,” imbuh hakim.
Hakim juga menghukum Achsanul membayar denda Rp 250 juta. Hakim mengatakan jika denda itu tak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
“Dan denda sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” kata hakim Fahzal.
(ygs/whn)