Jakarta –
Jaksa KPK memberi balasan menohok kepada Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan penasihat hukumnya terkait pengakuan tinggal di rumah BTN di Makassar yang masih kebanjiran. Jaksa meminta hakim mengesampingkan hal itu dalam putusannya nanti.
Pada minggu lalu, SYL diketahui membacakan pleidoi atau nota pembelaan setelah dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa. Sambil menangis, SYL membantah dakwaan dan tuntutan jaksa KPK. SYL bahkan mengaku tidak bisa disogok.
SYL awalnya menjelaskan rekam jejaknya sebagai birokrat, kepala daerah, hingga menteri. SYL mengatakan dia bisa saja korupsi sejak menjabat sebagai kepala daerah.
“Apabila saya memang berniat melakukan itu, saya pasti sudah melakukannya sejak dari dulu menjabat di daerah dan, apabila hal tersebut terjadi, dengan rentang waktu karier saya sebagai birokrat yang panjang, saya pasti akan sudah menjadi salah satu orang yang sangat punya kekayaan,” kata SYL saat membacakan pleidoi di sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (5/7).
SYL kemudian mulai terisak-isak. SYL mengatakan rumahnya di Makassar, Sulawesi Selatan, masih sering kebanjiran. Dia pun mengaku tak biasa disogok.
“Rumah saya kalau banjir masih kebanjiran, Bapak, yang di Makassar itu. Saya nggak biasa disogok-sogok orang. Tunjukkan bahwa saya pernah,” ucap SYL.
SYL juga mengaku selalu mengecek apakah honornya sudah sesuai ketentuan. Dia mengatakan bawahannya kerap menyebut uang yang diterima sudah dipertanggungjawabkan.
“Adapun penerimaan yang saya dapatkan selama ini adalah honor dan uang perjalanan dinas, yang selalu saya tanyakan kepada saudara Kasdi dan Panji, dan keduanya selalu menjawab bahwa biaya tersebut, semua sudah sesuai aturan dan kata kata khas yang selalu saya ingat ‘Ini sudah dipertanggungjawabkan bapak, ini sudah menjadi hak menteri, pak’. Lillahita’ala Rasulullah tidak jadi sembahyang saya kalau tidak sebut itu. Setiap saya hati-hati uang ini,” ujarnya.
Balasan Jaksa KPK
Jaksa KPK Mayer Simanjuntak pun membalas pengakuan SYL itu. Jaksa Mayer menyebut pengakuan SYL itu tidak sesuai dengan keterangan saksi dalam sidang.
“Bahwa terdakwa berdalih tidak pernah meminta 20 persen anggaran Kementan RI, terdakwa berdalih tidak pernah meminta 20 persen sebab jika terdakwa meminta 20 persen dari anggaran Kementan RI yang setiap tahunnya berkisar Rp 15 triliun maka terdakwa seharusnya sudah kaya raya. Namun, kenyataannya terdakwa hanya tinggal di rumah BTN di Makassar yang masih kebanjiran,” kata Jaksa KPK Meyer Simanjuntak saat membacakan replik di PN Tipikor Jakarta, Senin (8/7).
“Tanggapan penuntut umum. Bahwa dalih terdakwa tersebut bertentangan dengan fakta hukum di persidangan, berdasarkan keterangan Panji Hartanto yang bersesuaian dengan keterangan Momon Rusmono, Kasdi Subagyono, Imam Mujahidin Fahmid yang pada pokoknya terdakwa meminta jatah 20 persen anggaran Kementan RI yang dibungkus dalam bentuk program, diskresi 20 persen anggaran tersebut memberi kewenangan kepada terdakwa untuk menggunakan secara bebas, sesuka hati terdakwa tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Padahal menteri bukanlah pelaksana teknis, semestinya penggunaan anggaran diserahkan penuh kepada masing-masing Dirjen teknis yang lebih memahami kebutuhan di lapangan dan penggunaan anggarannya,” tambahnya.
Meyer kemudian mengungkit keterangan mantan ajudan SYL, Panji yang menerangkan pernah mendengar SYL meminta mengkoordinasikan pemotongan anggaran 20 persen anggaran di Kementan. Permintaan itu disampaikan SYL ke terdakwa Kasdi Subagyono, Muhamamd Hatta dan Imam Mujahidin Fahmid dan saksi lainnya.
“Potongan berupa dana sharing masing-masing eselon I tersebut digunakan untuk memenuhi permintaan kebutuhan operasional Syahrul Yasin Limpo dan keluarganya yang juga didukung dengan petunjuk berupa barang bukti elektronik, chat WA antara terdakwa Syahrul Yasin Limpo dan Imam Mujahidin Fahmid, serta adanya barang bukti antara lain dokumen catatan staf Kementan RI dan bukti kwitansi serta transfer uang pembayaran kebutuhan menteri dan keluarganya. Selanjutnya, keterangan Syahrul Yasin Limpo juga mengakui adanya kebijakan atau diskresi 20 persen dari anggaran Kementan RI untuk program yang sesuai perintah terdakwa Syahrul Yasin Limpo selaku menteri kepada pejabat eselon I Kementan RI,” imbuhnya.
Meyer mengatakan permintaan 20 persen anggaran Kementan untuk program merupakan kedok atau modus SYL. Menurut jaksa, SYL dan tim kuasa hukumnya tak memahami arti ‘meminta’ dalam surat dakwaan di kasus pemerasan anak buah tersebut.
“Akan istilah 20 persen untuk program Kementan ini hanyalah sebagai kedok atau modus terdakwa Syahrul Yasin Limpo dalam meminta jatah atau bagian untuk kepentingan biaya operasional terdakwa Syahrul Yasin Limpo dan keluarganya, sebagaimana bersesuaian dengan barang bukti elektronik komunikasi chat WA di bawah ini, terlampir dianggap dibacakan,” kata Meyer.
“Bahwa penasihat hukum dan terdakwa tidak mampu memahami kata meminta yang ada dalam surat dakwaan, kata meminta tersebut bukan berati terdakwa pasti mendapatkan 20 persen. Oleh karena tidak ada anggaran diperuntukkan khusus bagi terdakwa, dalam pelaksanaannya sebagaimana fakta persidangan. Para pejabat Kementan RI terpaksa memenuhi permintaan-permintaan terdakwa yang tidak dapat ditolak, sebagaimana telah diuraikan dalam surat dakwaan dan telah diuraikan secara lengkap dalam surat tuntutan. Sedangkan permintaan 20 persen dari anggaran Kementan RI adalah permintaan terdakwa yang tidak logis dan tidak mungkin dipenuhi oleh para pejabat Kementan RI,” tambah Meyer.
Minta Kesampingkan Pengakuan SYL
Lebih lanjut, terkait pernyataan SYL yang mengaku tidak memiliki harta. Jaksa menilai pernyataan SYL itu bertentangan dengan barang bukti yang disita dalam kasus ini.
“Dalih terdakwa yang menyebut bahwa terdakwa tidak memiliki harta banyak dan hanya punya rumah BTN di Makassar adalah bertentangan dengan barang bukti hasil penggeledahan dan penyitaan uang dan aset terdakwa sebagai berikut, uang puluhan miliar yang disita dari hasil penggeledahan di rumah dinas terdakwa Jalan Widya Chandra, rumah mewah di daerah Limo yang telah disita KPK, rumah mewah terdakwa di daerah Panakukang Makassar yang telah disita oleh KPK, mobil Alphard atau Vellfire yang telah diserahkan atau disita oleh KPK, mobil mercy sprinter yang telah disita KPK, uang miliaran rupiah di rekening terdakwa yang telah diblokir, terdakwa membayar jasa penasihat hukum Febri Diansyah dkk sebesar Rp 3,1 miliar,” katanya.
Jaksa Meyer menyebut masih ada harta benda SYL yang diduga disembunyikan dan masih diusut dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK. Oleh karena itu, dia meminta hakim menolak dalih SYL dalam pleidoi tersebut.
“Dan masih banyak lagi aset-aset terdakwa lainnya baik yang disimpan maupun disembunyikan terdakwa yang masih didalami di dalam TPPU seperti diduga hotel dan lainnya yang hingga saat ini masih dalam penyidikan dalam perkara TPPU atas nama terdakwa. Dengan demikian, dalih terdakwa tersebut adalah tidak berdasar dan patut ditolak atau setidaknya dikesampingkan,” pungkasnya.
Saksikan Live DetikPagi:
(zap/rfs)