Jakarta –
Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai sosok yang berintegritas dan bersahaja. Cucu Jenderal Hoegeng, Krisnadi Ramajaya Hoegeng, menceritakan kisah menyentuh hati tentang kakeknya yang selalu disampaikan ke anak-cucunya.
Rama menceritakan saat Hoegeng muda memiliki ayah seorang Jaksa Karesidenan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Rumah mereka berada tak jauh dari Stasiun Pekalongan.
“Waktu itu ada ceritanya jadi waktu penjajah masuk ke Kota Pekalongan, almarhum ayah Pak Hoegeng adalah Kepala Jaksa Karesidenan Kota Pekalongan, nah rumahnya persis ada di depan Stasiun Pekalongan dan strategis digunakan penjajah. Jadi almarhum ayah Pak Hoegeng memannggil Hoegeng untuk menghancurkan rumah tersebut dan membakarnya,” kata Rama dalam bedah buku ‘Hoegeng Moral, Etika, dan Jalan Hidup’ yang digelar di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (14/7/2024).
Hoegeng muda yang melihat keputusan ayahnya itu mendengar penjelasan mengapa rumahnya dihancurkan. Dia pun diberi pesan menyentuh hati supaya menjadi pribadi yang tangguh menjaga nama baik keluarga.
“Nah saat selesai, uyut saya itu bicara ke Hoegeng ‘Geng, mulai sekarang kita sudah tidak punya apa-apa, yang kita punya hanya nama baik, tolong jaga sampai anak-cucu keturunan’,” ucapnya.
Kisah berikutnya adalah saat Hoegeng menyelesaikan masa tugasnya di kepolisian. Hoegeng, kata Rama, datang kepada ibundanya untuk sungkem sekaligus memberi kabar tersebut.
“Saat Hoegeng selesai masa tugas, dia kembali ke rumah dan sungkem dengan ibunya. Beliau mengatakan ‘ibu, saya sudah tidak punya pekerjaan lagi’, lalu ibunya mengatakan ‘Geng, tidak apa, selama kamu melangkah dan menyelesaikan tugas dengan kejujuran, kami masih bisa makan nasi dengan garam’,” ujarnya.
Jenderal Hoegeng dikenal keluarganya sebagai sosok ayah sekaligus kakek yang sangat bersahaja. Menurut Rama, Hoegeng tidak pernah mencampurkan urusan pekerjaan dan keluarga.
“Kalau di keluarga, di dalam keluarga, almarhum ya seperti pada umumnya seorang ayah seorang kakek yang sangat-sangat humble, normal saja. Kami keluarga tidak pernah sedikitpun tahu apa yang sedang beliau kerjakan, tugas apapun yang dia kerjakan di dalam Polri tidak pernah tahu,” kata Rama.
“Almarhum membedakan antara tugas dan keluarga. Jadi pada saat beliau sudah mengenakan baju seragamnya itu kami keluarga tidak bisa mendekat, maksudnya tuh nggak boleh bajunya itu sangat apa ya sangat menghormati dan menjaga sekali. Apalagi pada saat menggunakan topi yang ada lambang Tribrata yang beliau sempurnakan,” imbuhnya.
(fas/fas)