Jakarta –
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengkritik pembahasan revisi UU TNI yang saat ini menjadi inisiatif DPR. Gufron menilai revisi UU TNI tidak mendesak dan diwarnai dengan beberapa usulan yang bermasalah.
“Kami memandang DPR RI sebaiknya menghentikan segala bentuk pembahasan agenda revisi UU TNI, mengingat revisi UU TNI bukan hanya tidak mendesak, tetapi DPR juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pembahasan,” kata Gufron dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/7/2024).
Untuk diketahui, saat ini DPR tengah memasuki masa reses. DPR baru kembali pada pertengahan Agustus untuk masuk masa sidang. Dengan demikian, DPR hanya memiliki waktu kurang lebih 1 bulan untuk menyelesaikan pembahasan revisi UU TNI.
Gufron juga menilai beberapa subtansi yang diusulkan justru melemahkan agenda reformasi. Usulan-usulan tersebut dinilai tidak memperkuat TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional.
“Lebih dari itu, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI,” tuturnya.
Lebih lanjut, Gufron menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait usulan perubahan UU TNI ini. Catatan ini berdasarkan naskah DIM yang ia terima. Salah satu kritiknya, yakni soal pelibatan militer di luar sektor pertahanan.
“Perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara. Hal ini dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI,” tuturnya.
Gufron juga menyoroti perubahan soal perluasan peran menjadi aparat penegak hukum. Menurutnya, hal bertentangan dengan TAP MPR VII Tahun 2000.
“Ketentuan ini keliru dan betentangan dengan amanat Pasal 30 (2) dan (3) sebagai alat pertahanan negara dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri,” jelasnya.
Selain itu, dia juga menilai penghapusan larangan berbisnis bagi TNI itu keliru. Sebab, usulan ini bisa menyebabkan kemunduran reformasi TNI.
“Ketiga, penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI. Militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang,” katanya.
Terakhir, dia melihat upaya perluasan jabatan sipil yang bisa diduduki perwira aktif TNI tidaklah tepat. Dia menilai usulan ini membuka ruang kembalinya dwi fungsi ABRI.
“Keempat perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam naskah DIM revisi UU TNI Pasal 47 Ayat (2) dapat membuka ruang kembalinya dwi fungsi ABRI,” ungkapnya.
(rdp/imk)