Jakarta –
Derita yang dialami Supriyadi datang bertubi-tubi. Genap 100 hari setelah anak bungsunya meninggal, Supriyadi kehilangan bajaj yang menjadi mata pencaharian utamanya.
“Iya (bajaj) satu-satunya (mata pencaharian). Istri saya nggak kerja, paling bantu adik saja jual gorengan di dekat proyek di Meruya,” kata Supriyadi kepada detikcom di rumahnya Kedoya Utara, Jakarta Barat, Jumat (19/7/2024).
Bak jatuh tertimpa tangga, anak bungsu Supriyadi adalah anak laki-laki yang sangat diidamkannya bersama istri sejak lama berpulang karena kanker. Kini dia dihadapkan masalah baru dengan kehilangan bajaj sewaannya.
Bertahun-tahun, bajaj itu jadi penyangga hidup Supriyadi dan keluarga. Bahkan ketika anak bungsunya masuk rumah sakit, bajaj itulah yang mengantarkannya bolak-balik.
Dari bajaj itu pula, anak bungsu Supriyadi bertahan sampai saat itu. Biaya berobat, susu dan makan dihasilkan Supriyadi dari narik bajaj tersebut.
“Waktu beberapa bulan lalu, anak saya yang bungsu, laki-laki harus dirawat di RS, butuh banyak biaya karena sakit kanker ginjal. Sarannya untuk minum susunya yang mahal,” ungkapnya.
“Iya, cuma dari hasil bajaj aja (obati anak). Tapi bajajnya seringnya sepi, sedangkan kita butuh banyak dana ya,” jelasnya.
Hidup Supriyadi dan keluarga sudah cukup berat, bahkan ketika masih bisa narik bajaj. Harga bahan pokok dan susu untuk anak kesulitan dibeli keluarganya.
Belum lagi mereka harus memikirkan biaya sewa kontrakan dan biaya anak sekolah. Mereka berusaha semampunya untuk bertahan.
Pendapatan Supriyadi dari narik bajaj mentok Rp 200 ribu sehari jika ramai. Kalau sepi, dia harus nombok beli bahan bakar dan makan.
“Nggak tentu, sehari kadang sepi, kadang ramai. Kadang seharian nggak dapat juga pernah. Nanti kalau istri nanya nggak pulang, saya bingung mau gimana, orang belum dapat, mau bawa apa. Kadang juga istri saya ambil makan di warteg depan, nanti bapaknya pulang baru dibayar,” lanjut dia.
Carsiti (44), istri Supriyadi, bilang hanya bisa membeli susu biasa untuk keperluan anaknya. Padahal dari dokter disarankan susu lain yang harganya lebih mahal.
“Saya jujur kalau bapaknya kerja sopir bajaj. Tidak mampu beli susu mahal, di apotek sempat nanya saja, nggak beli karena duitnya nggak cukup,” tukasnya.
“Baru 100 hari dia berpulang. Saya pikir kita baru kehilangan anak laki-laki, sekarang kita kehilangan bajaj, jadi mikirnya ketempuhan,” ungkapnya.
Carsiti tidak hanya pasrah dengan keadaan. Dia bertanya ke dokter yang merawat anaknya bagaimana caranya agar dia bisa diobati tanpa biaya.
“Dulu kita udah ngajuin ke mana-mana untuk biaya berobat anak, sampai ke Kitabisa. Sempat dilihat, tapi nggak ada respons lagi sampai anak saya meninggal,” ucapnya.
Carsiti sejatinya bisa mengenang anak bungsunya lewat bajaj yang hilang itu. Bagi keluarganya, bajaj itu adalah saksi anak bungsunya berjuang hidup hingga mengembuskan napas terakhirnya pada Februari lalu.
“Kenangan kita terakhir dengan bajaj itu dipakai untuk bolak-balik rumah sakit buat nganter anak. Bajaj itu jadi saksi kenangan keluarga kita sama anak yang meninggal itu,” cetusnya.
“Anak saya sebelum meninggal terakhir kali diantar bajaj itu, berangkatnya. Kalau pulangnya beda lagi pakai ambulans ya. Jadi kalau lihat bajaj itu selalu ingat sama anak saya,” imbuh dia.
Hampir dua pekan setelah kejadian itu, Supri mendapatkan kabar. Pelaku yang mencuri bajajnya telah ditangkap, tetapi bajaj telah ‘dimutilasi’.
Total ada tujuh pelaku yang ditangkap oleh Tim Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Diketahui, para pelaku sudah sembilan kali beroperasi sejak Agustus 2023.
(isa/isa)