Jakarta –
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2024. BPS mengatakan indeks perilaku antikorupsi Indonesia menurun pada tahun 2024.
Dilihat dari berita resmi statistik yang diunduh dari situs BPS, Jumat (19/7/2024), indeks perilaku antikorupsi Indonesia tahun 2024 berada di angka 3,85 pada skala 0 sampai 5.
Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2023, yakni 3,92. BPS menyatakan semakin indeks yang semakin mendekati 0 berarti menunjukkan masyarakat berperilaku permisif atau membolehkan korupsi.
BPS menyatakan IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yakni dimensi persepsi dan dimensi pengalaman. Kedua dimensi menunjukkan hasil menurun jika dibanding tahun 2024.
“Survei ini hanya mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) dan tidak mencakup korupsi skala besar (grand corruption). Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), gratifikasi (graft/gratuities), pemerasan (extortion), nepotisme (nepotism), dan sembilan nilai antikorupsi,” ujar BPS.
BPS mengatakan penurunan indeks persepsi ini terjadi di berbagai dimensi. Penurunan pertama terjadi pada kesadaran terhadap antikorupsi di lingkup keluarga.
Indikator yang menurun itu di antaranya ialah persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap seseorang yang menerima uang tambahan dari pasangan (suami/istri) di luar gaji atau penghasilan yang biasa diterima tanpa mempertanyakan asal usul uang tersebut menurun dari 75,58 (2023) menjadi 71,98 (2024). Berikutnya, BPS menyebut persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap seseorang memanfaatkan hubungan keluarga yang mempunyai kewenangan agar dipermudah dalam seleksi penerimaan murid atau mahasiswa baru menurun dari 75,27 (2023) menjadi 71,89 (2024).
Namun, ada pula indikator yang mengalami peningkatan. Salah satunya ialah persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap pejabat atau mantan pejabat pemerintah yang sering membagikan santunan atau bantuan atau sumbangan tetap dibela masyarakat meskipun terlibat kasus korupsi meningkat dari 89,12 (2023) menjadi 89,37 (2024).
Indeks yang menurun juga terlihat pada kategori komunitas. BPS mengatakan persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap peserta Pilkades atau Pilkada atau Pemilu membagikan uang, barang, fasilitas ke calon pemilih menurun dari 71,25 (2023) menjadi 67,05 (2024). Persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap calon pemilih menerima pembagian uang atau barang pada penyelenggaraan pemilihan juga menurun dari 62,78 (2023) menjadi 58,09 (2024).
BPS juga menyajikan indeks pengalaman masyarakat terkait tindakan koruptif. Hasilnya, terjadi penurunan pada indikator masyarakat dan pelaku usaha yang tidak memberi suap saat mengakses layanan publik.
“Pada 2024, terdapat 82,83 persen masyarakat yang tidak membayar suap kepada petugas ketika mengakses layanan publik, baik sendiri maupun melalui perantara. Nilai ini menurun dibandingkan 2023 (83,67 persen). Kondisi yang sama juga terjadi pada kelompok pelaku usaha. Persentase pelaku usaha yang tidak membayar suap kepada petugas ketika mengakses layanan publik adalah 81,19 persen, turun dibandingkan 2023 (82,60 persen),” ucapnya.
BPS mengatakan persentase masyarakat yang pernah ditawari uang atau barang untuk memilih kandidat tertentu dalam Pilkades atau Pilkada atau Pemilu terakhir meningkat dari 6,17 pada 2023 menjadi 46,77 pada 2024. BPS juga menyebut persentase masyarakat yang pernah ditawari untuk membayar uang damai saat ditilang juga meningkat dari 3,29 pada 2023 menjadi 3,90 pada tahun 2024.
BPS juga menyampaikan sejumlah kesimpulan berdasarkan karakteristik wilayah, pendidikan dan umur. Menurut data BPS, indeks perilaku antikorupsi di perkotaan lebih tinggi di banding pedesaan.
“Semakin tinggi pendidikan, masyarakat semakin antikorupsi. Penduduk pada usia di bawah 40 tahun dan umur 40-59 tahun lebih antikorupsi dibandingkan penduduk 60 tahun ke atas.,” tulis BPS.
(haf/imk)