Jakarta –
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat anak yang menjadi korban kekerasan ada 18.175 kasus sepanjang tahun 2023. Dari jumlah itu, 10.930 kasus di antaranya kasus kekerasan seksual ke anak.
“Dari data kekerasan anak sepanjang 2023 terdapat 18.175 kasus dengan korban 14.449 anak perempuan dan 5.772 anak laki-laki. Dari jumlah kasus tersebut 10.930 di antaranya korban kekerasan seksual dan 260 eksploitasi anak,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar, kepada wartawan, Kamis (18/7/2024).
KemenPPPA mencatat jumlah di atas berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA). Menurut Nahar, anak yang menjadi korban prostitusi bagian dari anak korban kekerasan seksual dan anak korban eksploitasi ekonomi dan/atau seksual.
Lebih lanjut, Nahar berharap agar penegak hukum dapa memberikan pemberatan hukuman penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan seksual kepada anak dapat pemberatan.
“Dalam penegakan hukum difokuskan pada pemberatan hukuman bagi para pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak. Penegakan hukum juga diharapkan memperhatikan aspek pemulihan terhadap anak yang menjadi korban, termasuk memastikan pemenuhan hak-hak korban antara lain melalui restitusi dan hak-hak lainnya yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan,” ucap Nahar.
Menurut Nahar, ada beberapa aspek untuk pencegahan kasus-kasus prostitusi anak tidak terulang. Di antaranya pola pengasuhan anak, penguatan ekonomi keluarga hingga pendidikan anak.
“Agar kasus-kasus prostitusi tidak terulang maka aspek pencegahan melalui pengasuhan layak, penguatan ekonomi keluarga, pendidikan, dan pemanfaatan waktu luang bagi anak harus terus dijamin dan diupayakan oleh setiap keluarga,” imbuhnya.
KPAI Harap Makin Serius Dibongkar
Sementara itu, Ketua KPAI Ai Maryati menyebut berdasarkan data KPAI sejak tahun 2020 kasus prostitusi anak sebenarnya terus menurun. Namun, dia tetap menyayangkan bahwa kasus-kasus anak menjadi korban prostitusi masih terus terjadi hingga bagai fenomena gunung es.
“Tentu ini sangat membuat kita semua khawatir, karena walaupun trennya sejak tahun 2020 ini menurun, tapi angka-angka ini kan bukan angka yang diam. Mereka fenomena gunung es, itu hitungan kasus, bukan korban. Bisa saja satu kasus itu korbannya sampe 5 orang, 10 orang. Sehingga bagi kami memang kepentingan mendata ini adalah menjadi medan kita, peta kita untuk menuju pada penyelesaian perlindungan anak karena mereka berada di dalam situasi dan kondisi yang sangat kompleks,” kata Ai Maryati kepada wartawan, Kamis (18/7).
Berdasarkan data tahun 2023, KPAI mencatat ada 147 kasus prostitusi anak. Data jumlah tersebut, sebanyak hampir 60 persen adalah anak korban prostitusi jaringan dan non-jaringan.
“Kenapa kami membedakan? Karena ini tantangan perlindungan anak itu, pertama mereka korban langsung. Kedua anak-anak ini ada upaya untuk memanfaatkan teknologi untuk mereka masuk dalam dunia prostitusi sehingga tidak membutuhkan mucikari atau pun germo,” ucapnya.
Atas masih banyaknya kasus prostitusi anak, Ai Maryati berharap penegak hukum, khususnya kepolisian bisa lebih serius dalam membongkar dan menangani kasus-kasus anak korban prostitusi. Dia menyebut dalam penanganan kasus prostitusi anak, pihak ‘pelanggan prostitusi’ kerap tidak diproses hukum.
“KPAI minta ini harus diseriusi karena walaupun mereka beralasan tidak tahu usia anak, lalu mereka beralasan ‘ya hak saya dong mau mencari kesenangan, hiburan, ya saya nggak tahu itu usia anak’. Itu sebenarnya nggak bisa argumentasi seperti itu ketika ini tuh betul-betul wilayah pelanggaran hukum, apalagi itu adalah hak anak terutama,” ujar Ai.
(fas/imk)