Jakarta –
Aliansi BEMNUS Wilayah DKI Jakarta bersama aliansi BEMSI Kerakyatan BSJB menggelar focus group discusion (FGD) membahas soal urgensi RUU TNI-Polri. Dalam kesempatan itu, mereka memberikan sejumlah catatan.
FGD dilakukan pada Senin (22/7) di Universitas Trilogi. Dr Abd R Rorano S Abubakar, SH MH atau Rorano hadir sebagai narasumber utama didampingi 3 koordinator wilayah dari ketiga aliansi.
“RUU TNI dan Polri perlu dilaksanakan untuk menjawab perubahan zaman namun patut untuk dikaji lebih lanjut. Ketika kedua lembaga diberikan perluasan kewenangan, maka akan lebih baik bila batasan-batasan kewenangan lembaga tersebut diatur jelas dalam Undang-Undang untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan ke depannya,” kata Rorano melalui keterangan tertulis, Selasa (23/7/2024).
Koordinator aliansi BEMNUS Wilayah DKI Jakarta Rahmatul Fajrin, menilai dalam RUU Polri yang mengatur kewenangan di ruang siber, perlu diawasi oleh lembaga khusus. Dia juga menyoroti soal wewenang penyadapan yang diatur dalam RUU Polri agar tidak dijadikan sebagai metode utama memperoleh informasi.
“Dalam hal melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber, perlu untuk diawasi oleh lembaga khusus yang independen di luar tubuh Polri. Sifat yang hanya sebatas koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi, baiknya diubah menjadi atas persetujuan resmi lembaga tersebut. Hal ini penting agar selain terwujudnya checks and balances antar lembaga, kementerian terkait juga masih memiliki tanggungjawab dalam wilayah yang sama yakni ruang siber,” kata Fajrin.
“Harus bisa dipertegas dalam RUU bahwa penyadapan tidak dijadikan sebagai upaya/metode paling pertama dalam memperoleh suatu informasi. Melainkan menjadi upaya/metode sekunder dengan alasan dan tujuan yang kuat, jelas serta objektif. Adanya jaminan kepastian waktu, kapan dimulai penyadapan dan kapan penyadapan itu diberhentikan. Dan baiknya harus ada jaminan apabila lewat dari waktu yang ditentukan, maka tindakan penyadapan harus dipertanggungjawabakan, karena menyangkut kinerja serta ketepatan pihak penyadap dalam melakukan penyadapan,” lanjutnya.
Dia menuturkan penyadapan yang dilakukan tidak boleh keluar dari disposisi kasus. Selain itu, perlu ada pembatasan terhadap orang yang mengakses materi penyadapan.
“Penyadapan tidak boleh keluar dari disposisi kasus dalam materi penyadapan. Harus adanya pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses materi penyadapan termasuk pemusnahan materi penyadapan,” ucapnya.
Sementara, koordinator aliansi BEMNUS Wilayah DKI Jakarta, Piere Lailossa menyampaikan perlunya penjabaran mengenai waktu penindakan pemblokiran atau pemutusan akses di ruang siber. Dia menyampaikan perluasan wewenang intelkan Polri dalam RUU Polri perlu diantisipasi sebab rawan terjadi tumpang tindih wewenang dengan BIN.
“Terkait pemberian kewenangan bagi Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri yang berkoordinasi dengan kementerian terkait, menurut kami perlu untuk dijabarkan lebih lanjut mengenai waktu kapan penindakan itu dilakukan serta demi tujuan keamanan dalam negeri seperti apa yang mengharuskan Polri melakukan penindakan-penindakan yang dimaksudkan. Hal ini penting untuk menciptakan suatu kepastian hukum,” ujarnya.
“Terkait perluasan wewenang Intelkam POLRI dalam RUU POLRI perlu diantisipasi adanya tumpang tindih aturan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2011 tetang Injelijen Negara. Terlebih khusus, tumpang-tindih wewenang antara Polri dengan BIN dan BAIS TNI. Oleh sebabnya, harus dilakukan harmonisasi regulasi terhadap aturan-aturan terkait ini,” lanjutnya.
Piere juga menyoroi RUU TNI soal penempatan prajurit TNI. Menurutnya penempatan prajurit TNI dilakukan sesuai kebutuhan dari wilayah tugas tidak berdasarkan pada satu poros kekuasaan.
“RUU TNI harusnya memberikan kepastian hukum penempatan prajurit TNI aktif pada lembaga/kementerian apa saja dan bukan dititikberatkan pada kebutuhan lembaga/kementerian yang sesuai dengan kebijakan presiden. Kewenangan penempatan prajurit TNI aktif harusnya dibatasi tegas sesuai wilayah tugas pokoknya dalam UU dan bukan dipegang penuh penempatan tersebut pada satu poros kekuasaan (Presiden). Hal ini penting untuk mencegah terjadinya: Pengangkatan pejabat publik yang tidak kompeten sesuai bidang keahliannya, dwifungsi ABRI pada ranah Eksekutif, mencegah terjadinya praktek kekuasaan neo orde baru termasuk abuse of power presiden, serta mencegah militer terlibat terlalu jauh kedalam percaturan politik yang sarat akan kepentingan pihak tertentu,” ucapnya.
Lebih lanjut, Piere menyampaikan revisi UU TNI-Polri harus dilaksanalan. Namun sebelum disahkan perlu ada pembahasan lebih lanjut.
“Kami sepakat bahwa seiring majunya perkembangan iptek dan semakin kompleksnya permasalahan di masyarakat, maka perancangan aturan baru maupun revisi aturan lama adalah hal yang harus dilaksanakan. Oleh sebabnya, untuk mengawal agar hukum selalu menghadirkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, maka ketiga aliansi memberikan beberapa catatan penting untuk penyempurnaan RUU TNI dan POLRI agar sekiranya dapat diakomodir sebelum dibahas lebih lanjut hingga disepakati dan disahkan,” imbuhnya.
(dek/idn)