Jakarta –
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 431 kasus eksploitasi anak selama tiga tahun terakhir. KPAI pun meminta adanya cyberpol pada setiap Polda di 38 provinsi.
Hal itu disampaikan Ketua KPAI Ai Maryati Solihah saat menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Gedung KPAI, Jakarta Pusat, Jumat (26/7/2024). MoU itu dalam rangka kolaborasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan anak.
“Ini tentu berkelindan dengan anak korban eksploitasi dan perdagangan anak di tahun yang sama 3 tahun terakhir yaitu 431 kasus,” kata Ai.
“Jadi kalau kita total itu hampir 900 anak yang masuk dalam situasi dan kondisi eksploitasi, serta CSAM (Children Sexual Abuse Material) atau pornografi,” sambungnya.
Ai menilai data tersebut harus menjadi peta bersama untuk menangani kasus eksploitasi anak. Dia mengatakan dari data tersebut tidak terlepas dari fenomena TPPO anak secara online dengan bentuk pornografi, ekspretasi seksual dan cybercrime.
Lebih lanjut, Ai mengatakan jual beli konten pornografi menjadi kasus yang kerap teradukan. Dia menjelaskan polanya pun melibatkan anak, dengan pembayaran melalui uang digital yang sangat mudah.
“Kita tidak tahu itu kamuflase atau benar, atau itu menggunakan apa, karena sangat mudah ternyata untuk pembayaran di bentuk-bentuk uang digital itu, ketimbang pergi ke bank dan sebagainya,” jelasnya.
Ai lantas meminta Kepolisian RI untuk memberikan atensi terkait transaksi kasus eksploitasi anak. Dia berharap setiap Polda di 38 provinsi segera memiliki cyberpol.
“Jadi kalau kita cyberpol-nya Polda itu belum nyampe 38 provinsi, mungkin baru sekitar 10 provinsi. Ini tantangan sekali lagi, aparat penegak hukum harus menindaklanjuti,” ujarnya.
“Kami mohon Pak Kapolri menyimak secara seksama pertemuan kali ini sehingga di tingkat Polda ini harus segera 38 provinsi, untuk memiliki cyberpol di masing-masing Polda,” sambungnya.
(amw/dnu)