Jakarta –
Seorang istri kaget suaminya punya banyak utang. Si istri bingung apabila utang suaminya akan ditagihkan kepadanya.
Sementara, mereka belum membuat perjanjian pranikah. Lalu, bolehkah membuat perjanjian pranikah usai pernikahan atau selama pernikahan berlangsung?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate, yaitu:
Selamat siang Pak.
Kami tidak mempunyai perjanjian pranikah.
Suami tidak bekerja (tidak ada penghasilan dari awal menikah). Saya yang bekerja dan menanggung semua biaya hidup. Suami tidak punya harta apapun dan sering berutang (tanpa sepengetahuan saya) dan dipakai untuk kepentingannya sendiri.
Terakhir suami mulai berhutang pinjol dan saya sering ditelepon penagih pinjol karena tanpa sepengetahuan saya, suami mendaftarkan nomor HP saya setiap kali berutang.
Saya tidak mau ada konsekuensi akibat utang-utang suami yang tidak saya ketahui (suami juga tidak terbuka waktu berutang). Karena sudah tidak tahan, saya berpikir untuk bercerai saja karena saya takut ada konsekuensi utang suami yang tertimpa ke saya.
Mohon penjelasan dari Bapak.
Terima kasih banyak.
Salam hormat,
Ira
JAWABAN:
Terima kasih atas pertanyaanya. Akan kami coba jawab sebagai berikut:
Perjanjian Pranikah
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada tanggal 21 Maret 2016, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permintaan uji materiil (judicial review) atas Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam putusannya, MK membolehkan perjanjian pranikah dilakukan setelah nikah (perkawinan berlangsung). Sehingga Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan berbunyi:
Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut
MK memutuskan hal di atas dengan pertimbangan di antaranya sebagai berikut:
Padahal dalam kenyataannya, ada fenomena suami-istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini, sesuai dengan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian demikian harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris. Perjanjian perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan istri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya.
Perceraian
Berdasarkan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan juga Pasal 19 PP Nomor 9/1975, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan cerita penulis, maka apa yang anda alami bisa masuk alasan perceraian keenam yaitu antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Untuk gugat cerai itu bisa diajukan ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dan ke Pengadilan Negeri (bagi pasangan nonmuslim). Bagi yang tidak mampu bisa meminta bantuan ke Posbakum setempat.
Demikian jawaban dari kami.
Terima kasih.
Tim Pengasuh detik’s Advocate
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/haf)