Jakarta –
Jaksa menghadirkan mantan Kepala Divisi Akuntansi PT Timah Tbk, Aim Syafei, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Aim mengungkap instruksi 030 tentang pengamanan aset bijih timah.
Aim Syafei bersaksi untuk terdakwa Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin, Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2018, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2017 dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/8/2024). Mulanya, hakim mendalami Aim soal pembayaran pembelian bijih timah oleh PT Timah Tbk.
“Pembelian bijih timah. Itu dibayarkan ke siapa oleh PT timah?” tanya ketua majelis hakim Eko Aryanto.
“Kalau berdasarkan catatan kita Pak, ada yang ke CV ada yang ke PT Pak,” jawab Aim.
Aim mengatakan ada pembayaran yang langsung dilakukan ke masyarakat selaku penambang, termasuk program sisa hasil pengolahan (SHP). Aim mengatakan metode pembayaran itu disebut sebagai program ‘jemput bola’ untuk peningkatan produksi bijih timah.
“Ke masyarakat langsung?” tanya hakim.
“Betul Pak, itu di program jemput bola tadi Pak,” jawab Aim.
“Jadi dalam rangka program peningkatan produksi, jadi itu langsung membeli. Itu bukan program SHP?” tanya hakim.
“Itu termasuk Pak,” jawab Aim.
Aim mengatakan aturan boleh atau tidaknya melakukan pembelian langsung ke penambang ada di bagian produksi. Dia mengatakan divisinya hanya melakukan verifikasi kelengkapan.
“Itu nomenclature-nya gimana? Apakah itu diperbolehkan? PT Timah langsung membeli ke masyarakat?” tanya hakim.
“Itu yang tahu produksi Pak, bagian produksi Pak,” jawab Aim.
“Mengenai boleh tidaknya, saksi tidak tahu?” tanya hakim.
“Tidak tahu,” jawab Aim.
“Saksi hanya membayar?” tanya hakim.
“Saksi hanya verifikasi kelengkapan,” jawab Aim.
Aim mengatakan pembayaran langsung ke penambang terjadi selama setahun. Periode waktunya yakni sejak 7 Februari 2018 hingga Februari 2019.
“Itu dari 7 Februari 2018 sampai dengan Februari 2019 Pak,” kata Aim.
“Jadi satu tahun?” tanya hakim.
“Iya Pak,” jawab Aim.
Hakim kemudian mendalami Aim terkait alasan pembayaran pembelian bijih timah dilakukan langsung ke penambang lalu melalui kemitraan yakni PT atau CV. Aim mengungkap hal itu mengikuti instruksi 030.
“Kenapa waktu itu langsung ke masyarakat? Kemudian kok ada yang ke PT atau ke CV?” tanya hakim.
“Itu ada instruksi Pak, dari..,” jawab Aim.
“030?” tanya hakim saat memotong jawaban Aim.
“Ya betul Pak,” jawab Aim.
“030 ya?” tanya hakim.
“Ya, 030,” jawab Aim.
Aim mengatakan instruksi 030 itu merupakan instruksi Direksi PT Timah sejak 1 Februari 2018. Dia mengatakan instruksi itu tentang pengamanan aset bijih timah.
“Direksi apa Direktur Utama? namanya apa Pak itu? Instruksi direksi apa instruksi Direktur Utama?” tanya hakim.
“Instruksi direksi Pak,” jawab Aim.
“Nomornya 030 tahun berapa?” tanya hakim.
“030 tahun 2018,” jawab Aim.
“Intinya apa Pak instruksinya?” tanya hakim.
“Instruksinya tentang melaksanakan pengamanan aset bijih timah,” jawab Aim.
Hakim juga menanyakan masa berlaku instruksi tersebut. Aim menyebut instruksi 030 itu tak pernah dicabut hingga saat ini.
“Jadi berlakunya kapan ini instruksi ini Pak 030?” tanya hakim.
“1 Februari 2018 Pak,” jawab Aim.
“Sampai?” tanya hakim.
“Tidak pernah di ini Pak,” jawab Aim.
“Tidak pernah dicabut?” tanya hakim.
“Ya Pak,” jawab Aim.
Hakim kemudian mendalami alasan pengamanan aset yang disebutkan dalam instruksi tersebut. Aim mengatakan PT Timah kesulitaan dalam hal pengamanan.
“Dalam rangka pengamanan apa tadi? aset?” tanya hakim.
“Aset Pak,” jawab Aim.
“Kenapa? asetnya PT Timah apakah diambil sama yang liar-liar gitu penambang?” tanya hakim.
“Sepengetahuan saya Pak memang timah itu kesusahan, kesulitaan dalam pengamanan,” jawab Aim.
“Atau karena saking luasnya?” tanya hakim.
“Betul Pak,” jawab Aim.
Lalu, hakim menanyakan apakah PT Timah juga bekerja sama dengan aparat keamanan setempat dalam rangka pengamanan aset tersebut. Aim mengaku tak tahu.
“Yang mengamankan siapa Pak di situ? Kan ada yang di polres itu pengamanan obyek vital, apakah ada? Apakah PT Timah juga melakukan kerja sama dengan polda atau polres?” tanya hakim.
“Nah itu saya kurang tahu Pak,” jawab Aim.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
“Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, m.b. Gunawan, Robert Indarto, Hendry Lie, Fandy lingga, Rosalina, Suparta, Reza Andriansyah dan Harvey Moeis sebagaimana diuraikan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian Keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14,” ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Harvey di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. Lalu, jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
(mib/maa)