Jakarta –
Hukum kewarisan mengatur secara detail bagaimana harta waris dibagi ke para ahli waris. Salah satunya soal pembagian waris terhadap anak-anak yang lahir dari berbeda perkawinan.
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate, yaitu selengkapnya:
Laki-laki A menikah dengan perempuan B. Punya satu anak perempuan C, lalu bercerai.
Laki-laki A menikah lagi dengan perempuan D. Punya dua anak perempuan E dan F.
Laki-laki A sudah meninggal, lalu anak dari hasil pernikahan pertama, atau C, meminta hak waris. Kalau di hukum perdata, bagaimana pembagian hak waris ke istri kedua (D) dan anak-anaknya? Terutama si C anak dari pernikahan pertama.
P
Jakarta
Untuk menjawab pertanyaan di atas kami meminta pendapat advokat
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut jawaban lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Terdapat tiga aturan hukum tentang waris yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris Perdata Barat, dan Hukum Waris Adat. Dari pertanyaan di atas, kami menyimpulkan bahwa para pihak tunduk kepada Hukum Waris Perdata Barat, berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Menurut ketentuan Pasal 832 Ayat (1) KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik yang sah maupun luar kawin, serta suami atau istri yang hidup terlama. Lebih lanjut, Pasal 852 KUHPerdata menyatakan bahwa anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya, dalam garis lurus ke atas tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.
Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata mengatakan, untuk menetapkan siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang, anggota-anggota keluarga si meninggal (pewaris) dibagi ke dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewarisi semua harta peninggalan. Sedangkan anggota keluarga lain tidak mendapat bagian apapun. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua tampil sebagai ahli waris, dan seterusnya. Untuk itu, terdapat empat golongan ahli waris, yang lebih didahulukan hak warisnya berdasarkan urutannya, yaitu :
Golongan I : Suami / istri yang hidup terlama berserta anak keturunannya;
Golongan II : Orang tua dan saudara kandung pewaris;
Golongan III : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua pewaris;
Golongan IV : Paman dan bibi pewaris, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Kami mengasumsikan antara A dengan B ataupun dengan D telah melangsungkan perkawinan yang sah menurut hukum agama dan hukum negara, serta tidak terikat kepada suatu perjanjian perkawinan sehingga harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama masing-masing pernikahan tersebut. Pasal 119 Ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa mulai dari saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan. Selain itu, terdapat pula di dalam ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Kami mengasumsikan bahwa telah terjadi pembagian harta gono gini antara A dan B sebelum A meninggal dunia, sehingga B sudah mendapatkan bagiannya dari harta tersebut.
Kami juga mengasumsikan A tidak pernah membuat Surat Wasiat semasa hidupnya. Pasal 874 KUHPerdata menyatakan, segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu belum diadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 874 tersebut, yaitu berupa adanya surat wasiat (testamen).
Oleh karena itu, maka segala harta bersama yang menjadi peninggalan dari almarhum A, merupakan harta waris yang menjadi hak dari D selaku istrinya saat ini serta C, E, dan F sebagai anak-anak kandungnya. Akan tetapi, dengan ketentuan bahwa harta tersebut harus dibagi dua terlebih dahulu, dimana setengah bagian menjadi hak istri (D) sesuai ketentuan pembagian harta bersama berdasarkan Pasal 35 UU 1/1974 Jo. Pasal 128 KUHPerdata Jo. Pasal 126 KUHPerdata, dan setengah bagian lagi akan dibagi rata antara B dan ketiga anak tersebut (C, E, F).
Sedangkan apabila almarhum A mempunyai harta bawaan yang dimilikinya sebelum menikah dengan D, maka harta tersebut menjadi hak waris dari anak-anak kandungnya saja yaitu C, E, dan F, sehingga D selaku istrinya saat ini tidak memperoleh bagian.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/zap)