Jakarta –
Jaksa menghadirkan staf Direktorat SDM PT Timah Tbk, Eko Zuniarto Saputro, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Eko mengaku membuat dokumen kajian dengan tanggal mundur atau backdate terkait kerja sama antara PT Timah dengan smelter swasta usai temuan oleh tim audit internal.
Eko bersaksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024).
Mulanya, Eko mengakui ada kerja sama sewa peralatan untuk pelogaman timah antara smelter swasta dan PT Timah. Dia mengatakan kerja sama itu dilakukan tanpa kajian.
“Ini kan harga sewa smelternya sudah ditetapkan dalam perjanjian itu, setelah itu apakah saudara pernah mendapat perintah dari Pak Alwin (Direktur Operasi dan Produksi PT Timah) untuk melakukan kajian atau evaluasi terhadap perjanjian sewa smelter ini atau nggak sebelumnya? Apakah Saudara tahu untuk sewa smelter ini sebelumnya pernah ada dilakukan kajian oleh Divisi P2P?” tanya jaksa.
“Setahu saya ada narasi yang dibuat terkait dengan kerja sama ini,” jawab Eko.
“Kajiannya ada nggak?” tanya jaksa.
“Kalau kajian nggak ada,” jawab Eko.
“Tapi kerja sama sudah dilaksanakan?” tanya jaksa.
“Sudah,” jawab Eko.
Eko mengatakan dirinya diperintah Alwin Albar membuat kajian kerja sama tersebut setelah sewa dilaksanakan. Dia mengatakan perintah itu diberikan Alwin usai adanya temuan audit internal PT Timah, yakni tidak adanya feasibility study (FS) terkait kerja sama tersebut.
“Apa yang diminta oleh Pak Alwin?” tanya jaksa.
“Pada saat itu ada temuan internal dari internal audit terkait dengan kerja sama yaitu belum adanya FS,” jawab Eko.
“Waktu itu kami sampaikan kami hanya mendapatkan SP (surat perintah) dan narasi terkait dengan kerja sama ini. Karena di narasi kerja sama itu, udah ada hitung-hitungannya juga, Pak, tarifnya berapa. Kemudian, permintaan dari internal audit untuk melengkapi dokumen, dokumen itu dilengkapi Pak,” imbuh Eko.
Dia mengatakan dokumen kajian itu baru selesai dibuat pada Agustus 2020. Namun, pihaknya melakukan backdate sehingga kajian itu seolah dibuat 2018.
“Di tanggal berapa akhirnya Saudara membuat kajian sebagaimana perintah Pak Alwin?” tanya jaksa.
“Seingat saya akhir 2019 kemudian selesainya itu seingat saya Agustus 2020,” jawab Eko.
“Dokumennya per tanggal berapa dibuat? ” tanya jaksa.
“Dimintanya Mei 2018,” jawab Eko.
“Berarti ada dokumen kajian itu yang dibuat di 2020 dibuat tanggal mundur atau backdate seperti itu ya?” tanya jaksa.
“Berdasarkan data-data di 2018,” jawab Eko.
Jaksa mendalami Eko terkait penggunaan kajian itu lantaran kerja sama sewa peralatan pelogaman timah antara PT Timah dan smelter swasta sudah berjalan. Eko mengatakan kajian itu dibuat atas perintah Alwin untuk pelengkapan dokumen oleh tim audit internal PT Timah.
“Terus dokumen yang Saudara buat itu yang backdate itu, pada akhirnya digunakan untuk apa Pak? Kan tadi kerja sama sudah terlanjur berjalan, tidak diperlukan lagi kajian kan. Kepentingannya apa Pak Alwin menyuruh untuk dibuatkan kajian dengan tanggal mundur seperti itu?” tanya jaksa.
“Itu karena masih ada temuan dari internal audit yang belum lengkap Pak,” jawab Eko.
Dalam kasus ini, ada lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah terkait sewa peralatan processing pelogaman timah. Lima smelter swasta itu adalah PT Refined Bangka Tin, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa dan CV Venus Inti Perkasa.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
“Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara,” ujar jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (21/8).
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah yang sebenarnya berasal dari penambang ilegal di wilayah izin usaha PT Timah. Jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
(mib/haf)