Jakarta –
Warga bernama Zulferinanda mengajukan gugatan terhadap pasal Pasal 7 ayat (2) huruf c dan huruf e UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia meminta calon kepala dearah minimal harus sarjana.
Gugatan Zulferinanda itu terdaftar dengan nomor perkara 130/PUU-XXII/2024. Sidang pendahuluan terhadap perkara itu digelar di Gedung MK, Senin (30/9/2024).
Berikut isi pasal yang diuji Zulferinanda:
Pasal 7:
(2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat
e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
Dikutip dari situs resmi MK, pemohon menilai tingkat pendidikan calon kepala daerah paling rendah hanya sebatas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat tidak sejalan dengan semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemohon menilai seorang kepala daerah harus memiliki konsep pemikiran untuk membuat program pengembangan SDM, membangun kemandirian ekonomi di daerah, hingga merumuskan arah kebijakan ekonomi daerahnya.
Pemohon mempertanyakan kemampuan kepala daerah untuk membangun wilayahnya jika hanya berbekal ilmu dari SLTA atau sederajat. Pemohon menyadari tidak ada jaminan yang absolut antara jenjang pendidikan dengan sebuah keberhasilan, namun menurutnya seorang sarjana mempunyai pola pikir, perspektif, dan paradigma yang jauh lebih matang.
Menurutnya, seorang sarjana lebih terbiasa menganalisis masalah hingga mencapai kesimpulan sebelum dikonversi menjadi sebuah kebijakan. Dia juga menggugat aturan soal batas usia minimal 25 tahun untuk calon Wali Kota-Wakil Wali Kota dan Bupati-Wakil Bupati.
“Jika yang bersangkutan dengan usia segitu hanya lulusan SLTA atau sederajat pula, kira-kira faktor apa yang bisa dijadikan argumentasi untuk tetap memajukannya sebagai calon kepala daerah. Kontribusi seperti apa yang bisa diberikannya untuk daerah yang akan dipimpinnya kelak. Jangankan untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, kemampuan yang bersangkutan dalam memimpin sebuah tim besar yang bernama pemerintahan daerah saja masih diragukan. Pengalaman sebanyak dan sehebat apa yang bisa diaplikasikannya ketika menjadi kepala daerah di usia segitu. Integritas seperti apa yang bisa dijanjikannya bila masih belum pernah mengenal godaan dan tekanan dalam menjalankan pemerintahan,” ujar Zulferinanda.
Berikut petitum pemohon:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga perlu mengubah atau mengganti bunyi pada Pasal 7 ayat (2) huruf c tersebut dari ‘berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat’ menjadi ‘berpendidikan paling rendah sarjana atau sederajat’.
3. Menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga perlu menghapus frasa ’25 (dua puluh lima) tahun’ pada bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf e tersebut sehingga menjadi ‘berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota’.
4. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Atau dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat kemudian memberikan nasihat kepada pemohon. Arief mengatakan persoalan usia sudah pernah diajukan ke MK. Dia mengatakan MK telah menyatakan urusan syarat usia merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang, yakni DPR.
“Prinsip ini adalah open legal policy, MK akan bergeser keyakinan apabila benar-benar diuraikan dengan jelas dan kuat disertai dengan dilengkapi dengan argumentasi yang meyakinkan,” jelas Arief.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur juga memberikan catatan tentang syarat-syarat kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Namun, dia meminta kerugian itu dirangkai secara spesifik.
“Bagus juga ini dan memang sudah ada kutipan kerugian konstitusional, tetapi belum ada keterkaitannya dengan kedudukan hukum sebagai Pemohon. Kerugian harus dirangkai apakah bersifat spesifik, aktual, atau potensial dan bukan sekadar klaim saja,” katai Ridwan.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh yang memimpin sidang memberikan nasihat agar pemohon mengajukan beberapa penjelasan terkait praktik di negara-negara lain soal syarat usia dan pendidikan calon kepala daerah.
“Terhadap petitum juga diharapkan dapat mengikuti kelaziman yang ada dalam petitum yang terdapat dalam ketentuan di MK,” ujar Daniel.
(haf/dhn)