Jakarta –
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun ini melakukan SDGs Annual Conference (SAC) ke-7 di Jakarta. Dalam SAC kali ini, Bappenas menyoroti status capaian indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2023.
Bappenas menjelaskan ada empat pilar pada pembangunan SDGs, mulai pilar sosial, ekonomi, lingkungan, serta hukum dan tata kelola. Dari keempat pilar tersebut, terdapat 224 indikator yang dievaluasi.
Direktur Pendidikan Tinggi dan IPTEK Kementerian PPN/Bappenas, Andri NR Mardiah, menjabarkan temuan data Bappenas terkait capaian target SDGs pada 2023. Hasilnya, dari 224 indikator, sebanyak 62 persen atau 138 indikator telah tercapai. Kemajuan yang signifikan terjadi pada pilar lingkungan, hukum dan tata kelola, serta ekonomi.
Meski begitu, Andri meminta data itu tidak membuat puas. Dia menyebut masih ada 55 indikator yang memerlukan perhatian khusus sejumlah pihak.
“Nah, ini masih banyak yang perlu kita benahi untuk menjadikan proses pencapaian SDGs ini tetap pada track-nya. Ada 24 persen atau sebanyak 55 indikator yang masih butuh perhatian khusus,” kata Andri di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2024).
Sementara itu, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito mengatakan masalah yang sering terjadi dalam pencapaian SDGs terjadi di area lintas sektor antar-kementerian/lembaga (K/L). Dia menyebut pemerintah tidak bisa melihat sebuah masalah hanya dari satu sudut pandang.
“Oh, tadi Menteri sudah menyampaikan, misalnya, masalah kemiskinan dan sebagainya. Nggak bisa itu, satu kementerian. Kalau ditanya kementerian mana, semuanya tunjuk-tunjukan. ‘Oh, itu menteri ini, menteri itu, kan anggarannya sudah di sana dan sebagainya’. Kenyataannya harus bersama-sama,” kata Mego.
SDGs Annual Conference (SAC) ke-7 di Jakarta (Rifka/detikcom)
|
“Jadi balik lagi, inilah masalah-masalah yang memerlukan satu pendekatan yang kompleksitas, yang kemudian tidak bisa oleh satu sektor. Di situ sebetulnya peran dari riset inovasi yang ada,” tambahnya.
Mego mengatakan tantangan lain yang sering muncul berkaitan dengan permasalahan yang memiliki kompleksitas tinggi. Dia menilai pemerintah membutuhkan lebih banyak lulusan humaniora untuk menemukan beragam pendekatan dari permasalahan yang ada.
“Dalam konteks kompleksitas adalah ahli-ahli, pakar-pakar bidang IPS. Ilmu pengetahuan sosial, humaniora. Karena kita tahu tadi, dengan beragam budaya berbeda itu pendekatan ke, misalnya ya, ke orang Jawa beda sama pendekatan ke orang Batak. Beda sama ke orang Dayak, beda sama orang Maluku, beda sama orang Papua. Itu yang kemudian akan mempengaruhi bagaimana pemerintah melihat,” jelas Mego.
Kemitraan Indonesia-Australia dalam mencapai SDGs
Dalam acara yang sama, Indonesia dan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia baru saja mengerjakan rencana kemitraan pembangunan yang disebut dengan Development Partnership Plan (DPP). Kemitraan ini berfokus pada program perubahan iklim dan lingkungan hingga research, science, dan inovasi.
Minister-Counsellor untuk Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Kedubes Australia, Madeleine Moss, menjelaskan sebelumnya Indonesia-Australia melakukan kerja sama melalui program yang disebut dengan Koneksi. Program ini mendukung isu-isu lingkungan dan perubahan iklim di Indonesia.
“Koneksi atau platform kemitraan pengetahuan memberikan hibah penelitian kolaboratif yang menguatkan kemitraan antara institusi di Australia dan Indonesia. Untuk bekerjasama mencari solusi pembangunan berbasis pengetahuan untuk kebijakan dan teknologi yang inklusif dan berkelanjutan,” jelas Madeleine.
“Melalui hibah penelitian pertama, koneksi mendukung 38 proyek penelitian yang inovatif. Dan melibatkan 118 organisasi penelitian Australia dan Indonesia dengan tema lingkungan dan perubahan iklim,” katanya.
Selain itu, ada program kerja sama Indonesia-Australia yang disebut dengan Kinetik. Kemitraan ini berfokus kepada dampak untuk iklim, energi terbarukan, dan infrastruktur.
“Program ini merupakan program flagship baru untuk Australia dan Indonesia. Dan itu akan memperdalam kerjasama bilateral untuk mengurangi emisi. Dan mendorong sistem energi dan industri untuk mencepat transisi menuju nol emisi karbon,” ungkap Madeleine.
(ygs/ygs)