Jakarta –
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi inisial SL ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap. Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kabupaten Bekasi itu diduga menerima suap terkait pengurusan proyek.
Tersangka SL diduga menerima gratifikasi atau suap dari oknum pelaksana kegiatan fisik inisial RS. RS sebelumnya telah terlebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
“Penetapan tersangka pada perkara ini merupakan pengembangan dari hasil penyidikan atas dugaan suap atau gratifikasi yang dilakukan tersangka RS pada tersangka SL,” kata Kepala Kejari Kabupaten Bekasi Dwi Astuti Beniyati, dilansir Antara, Rabu (30/10/2024).
Dwi mengatakan penetapan tersangka SL berdasarkan bukti permulaan yang cukup, termasuk sejumlah dokumen. Selain itu jaksa menemukan bukti satu unit mobil bermerek Mitsubishi Pajero warna putih dan satu unit mobil jenis sedan BMW.
Jaksa penyidik kemudian melakukan penahanan terhadap SL selama 20 hari ke depan di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA Pasirtanjung, Cikarang Pusat untuk kepentingan penyidikan.
SL diperiksa pada Selasa (29/10/2024) kemarin. Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Kabupaten Bekasi Ronald Thomas Mendrofa menambahkan, SL awalnya datang ke Kejaksaan untuk memenuhi panggilan.
SL diperiksa selama tiga jam lebih dan dicecar 20 pertanyaan. Jaksa lalu memutuskan meningkatkan status SL dari saksi menjadi tersangka, SL juga langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan kemarin pada pukul 18.00 WIB.
Jaksa mengungkap peran SL adalah menerima suap kendaraan roda empat terkait pengurusan 26 proyek. Adapun nilai proyek tersebut beragam dari mulai Rp 200 hingga Rp 300 juta per proyek.
“RS menerima proyek dari SL dengan nilai bervariasi, sekitar Rp200-300 juta per proyek. Total ada 26 proyek. Tersangka mengaku dari yang bersangkutan RS untuk dapat mengerjakan proyek dengan imbalan diberikan kendaraan roda empat,” katanya.
SL disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau kedua Pasal 12 huruf e atau ketiga 12 huruf b atau keempat Pasal 5 ayat 2 junto Pasal 5 ayat 1 huruf a.
Kemudian atau kelima Pasal 5 ayat 2 junto Pasal 5 ayat 1 huruf b atau keenam pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Tersangka diancam pidana maksimal 20 tahun penjara.
“Ancaman pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun. Bentuk pasal sangkaan itu alternatif, artinya salah satu dari pasal-pasal tersebut akan dibuktikan nanti di persidangan, mana yang paling sesuai dengan unsur perbuatannya,” kata dia.
Konstruksi kasus ini berawal dari laporan masyarakat pada 7 Agustus 2023 yang ditindaklanjuti dengan telaah serta pengumpulan data dan keterangan oleh tim jaksa penyidik.
Penanganan kasus ini sempat tertunda akibat Instruksi Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam Mendukung dan Menyukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024.
Instruksi Jaksa Agung itu dikeluarkan sebagai langkah antisipasi penggunaan penegakan hukum sebagai alat politik praktis oleh pihak-pihak tertentu pada Pemilu 2024 sekaligus bentuk komitmen pelaksanaan Memorandum Jaksa Agung Nomor 127 tentang Upaya Meminimalisir Dampak Penegakan Hukum terhadap Pelaksanaan Pemilu.
Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi menginterpretasikan Instruksi Jaksa Agung RI itu dengan merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 menyangkut tahapan terakhir penyelenggaraan pemilu pada 20 Oktober 2024.
(yld/dhn)